Puncak dari konflik ini terjadi ketika Soekarno, yang saat itu sangat gencar mengampanyekan Pancasila Dasar Negara Besar Dan Nasakom Sebagai Front Persatuan Nasional, akhirnya membubarkan Manikebu pada tahun 1964. Langkah ini membuat para sastrawan yang tergabung dalam Manikebu kehilangan banyak ruang berkarya.
Pandangan terhadap Demokrasi Terpimpin
Pram juga mendukung konsep Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan oleh Soekarno. Baginya, sistem demokrasi ala Barat yang seringkali dikaitkan dengan eksploitasi dan penjajahan tidak cocok diterapkan di Indonesia. Ia lebih percaya bahwa Indonesia harus menemukan jalannya sendiri dalam berdemokrasi, yaitu melalui sistem yang sesuai dengan karakter bangsa.
Dalam perspektif Pram, Indonesia bukanlah negara yang bisa berkembang dengan sistem demokrasi liberal seperti di Barat. Oleh karena itu, ia menilai bahwa Demokrasi Terpimpin adalah bentuk demokrasi yang lebih sesuai untuk Indonesia, di mana pemimpin memiliki peran yang kuat dalam mengarahkan bangsa.
Kritik terhadap Soekarno
Meskipun mengagumi Soekarno, Pram juga tidak segan untuk mengkritiknya. Salah satu kritiknya yang paling tajam dapat ditemukan dalam novel Korupsi, yang menggambarkan praktik korupsi yang merajalela pada era Orde Lama.
Dalam novel tersebut, Pram secara tidak langsung menyoroti berbagai kelemahan dalam pemerintahan Soekarno, terutama terkait birokrasi yang korup dan tidak efisien. Novel ini menunjukkan bahwa meskipun Pram adalah pendukung ide-ide revolusioner yang juga diusung oleh Soekarno, ia tetap memiliki sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial.
Perubahan Sikap Pasca 1965
Setelah peristiwa G30S tahun 1965 dan jatuhnya Soekarno, Pram mengalami perubahan signifikan dalam hidupnya. Ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan yang jelas.
Selama masa penahanannya, Pram tetap produktif menulis. Di Pulau Buru, ia menghasilkan karya-karya monumental seperti tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Menariknya, dalam karya-karya ini, gaya bahasa Pram mengalami perubahan. Jika sebelumnya ia dikenal dengan gaya tulisan yang tajam dan penuh kritik, maka di Pulau Buru, ia mulai menggunakan gaya bahasa yang lebih sastrawi dan reflektif.
Warisan dan Pengakuan terhadap Karya Pram