Memperingati 100 Tahun Pramoedya Ananta ToerÂ
Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram, adalah salah satu sastrawan terbesar dalam sejarah Indonesia. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pram bukan hanya seorang penulis, tetapi juga seorang intelektual yang aktif dalam dinamika politik dan kebudayaan Indonesia. Ia hidup di masa pergolakan nasional dan mengalami berbagai fase dalam sejarah Indonesia, mulai dari penjajahan, kemerdekaan, hingga era pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan hidup dan pemikiran Pram adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Hubungan antara keduanya mencerminkan interaksi yang kompleks antara seni, politik, dan ideologi. Di satu sisi, Pram mengagumi Soekarno sebagai seorang pemimpin besar yang memiliki visi untuk Indonesia, tetapi di sisi lain, ia juga tidak segan mengkritik kebijakan-kebijakan yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Kekaguman Pram terhadap Soekarno
Pram memiliki kekaguman yang mendalam terhadap Soekarno. Dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan bahwa hingga saat ini, belum ada pemimpin Indonesia yang dapat menandingi kebesaran Soekarno. Ia melihat Soekarno sebagai sosok yang memiliki wawasan luas, retorika luar biasa, serta keberanian untuk melawan imperialisme dan kolonialisme.
Menurut Pram, Soekarno adalah pemimpin yang memahami karakter bangsa Indonesia dan berusaha membangun identitas nasional yang kuat. Konsep 'Nation and Character Building' yang dikemukakan Soekarno menjadi inspirasi bagi banyak pemikir, termasuk Pram sendiri. Ia meyakini bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Soekarno, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan politik, tetapi juga memiliki gagasan besar untuk memajukan bangsa.
Dalam salah satu wawancaranya, Pram pernah mengatakan bahwa setelah Soekarno, Indonesia belum memiliki pemimpin yang benar-benar memahami visi kebangsaan secara utuh. Hal ini menunjukkan betapa besarnya penghormatan Pram terhadap sosok Proklamator Indonesia tersebut.
Peran dalam Konflik Kebudayaan
Pada era 1960-an, terjadi perdebatan sengit antara kelompok sastrawan yang mendukung realisme sosialis dan mereka yang mendukung humanisme universal. Pram termasuk dalam kelompok pertama, yang berpandangan bahwa sastra harus berorientasi pada kepentingan rakyat dan perjuangan revolusi. Ia aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Melalui rubrik "Lentera" di harian Bintang Timur, Pram secara terbuka mengkritik para sastrawan yang menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu), yang dianggapnya tidak sejalan dengan haluan Demokrasi Terpimpin yang dipromosikan oleh Soekarno. Ia bahkan mendorong agar para sastrawan Manikebu dipecat dari jabatan publik dan karya-karya mereka dilarang terbit.