Marhaenisme, sebuah ideologi yang dicetuskan oleh Bung Karno, lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi rakyat Indonesia yang tertindas oleh sistem kolonialisme dan kapitalisme. Istilah "Marhaen" sendiri diambil dari nama seorang petani kecil di daerah selatan Bandung yang ditemui oleh Soekarno pada tahun 1920-an. Petani tersebut memiliki lahan dan alat produksi sendiri, namun tetap hidup dalam kemiskinan karena hasil kerjanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Dari pertemuan ini, Soekarno menyimpulkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia berada dalam kondisi serupa: memiliki alat produksi namun tetap miskin akibat sistem yang menindas.Â
Marhaenisme menekankan pentingnya pemberdayaan rakyat kecil dan penghapusan sistem yang menyebabkan penindasan. Dalam konteks modern, terutama di kalangan pemuda, semangat Marhaenisme relevan untuk mendorong kesadaran kritis terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai ini di tengah arus globalisasi dan budaya konsumtif yang kerap menjauhkan generasi muda dari realitas sosial di sekitarnya.
Data terbaru menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia masih menjadi masalah serius. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, indeks Gini Indonesia berada pada angka 0,38, menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara si kaya dan si miskin. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka di kalangan pemuda mencapai 13,5%, menandakan bahwa banyak generasi muda yang belum mendapatkan akses pekerjaan yang layak.
Di sisi lain, survei yang dilakukan  pada tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 35% pemuda yang tertarik pada isu-isu sosial dan politik, sementara sisanya lebih fokus pada hiburan dan media sosial. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam menumbuhkan kesadaran kritis di kalangan pemuda terhadap isu-isu yang berkaitan dengan keadilan sosial dan ekonomi.
Bung Karno, dalam berbagai tulisannya, menekankan pentingnya kesadaran dan aksi kolektif untuk melawan penindasan. Dalam pidatonya yang berjudul "Marhaen dan Proletar" pada tahun 1957, ia menyatakan bahwa perjuangan melawan penindasan harus melibatkan seluruh rakyat, bukan hanya kelas pekerja. Ia menekankan bahwa setiap individu memiliki peran dalam menciptakan perubahan sosial.Â
Untuk menghidupkan kembali semangat Marhaenisme di kalangan pemuda, diperlukan pendekatan yang sesuai dengan konteks zaman. Pendidikan kritis yang mengintegrasikan teknologi dan media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk menyebarkan nilai-nilai keadilan sosial. Selain itu, program-program pemberdayaan pemuda yang fokus pada pengembangan keterampilan dan kewirausahaan sosial dapat membantu mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan partisipasi pemuda dalam pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Gerakan-gerakan sosial yang dipimpin oleh pemuda juga menunjukkan potensi besar dalam mendorong perubahan. Misalnya, inisiatif-inisiatif seperti komunitas berbasis solidaritas dan koperasi pemuda telah berhasil memberdayakan anggota mereka dan menciptakan dampak positif di masyarakat. Dengan menggabungkan semangat Marhaenisme dengan inovasi dan kreativitas, pemuda masa kini dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Namun, tantangan tetap ada. Budaya konsumtif dan individualisme yang semakin menguat dapat menghambat upaya kolektif untuk mencapai keadilan sosial. Oleh karena itu, penting bagi pemuda untuk terus mengasah kesadaran kritis dan terlibat dalam komunitas yang mendukung nilai-nilai solidaritas dan keadilan.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, semangat Marhaenisme menawarkan landasan moral dan etis bagi pemuda untuk berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil. Dengan memahami akar permasalahan sosial dan ekonomi, serta mengambil tindakan nyata untuk mengatasinya, pemuda dapat mewujudkan cita-cita Bung Karno tentang Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Sebagai penutup, refleksi Bung Karno tentang Marhaenisme mengajarkan kita bahwa perjuangan melawan penindasan tidak hanya tentang melawan kekuatan eksternal, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan kekuatan dari dalam diri kita sendiri. Pemuda, dengan energi dan idealismenya, memiliki peran kunci dalam meneruskan perjuangan ini dan memastikan bahwa nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan tetap menjadi dasar dalam pembangunan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI