Marhaenisme adalah ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, yang berfokus pada perjuangan kaum marhaen---petani kecil, buruh, dan rakyat miskin---untuk mencapai kemandirian ekonomi dan keadilan sosial. Di sisi lain, konsep alienasi, yang diperkenalkan oleh Karl Marx, menggambarkan kondisi keterasingan individu dari hasil kerjanya, proses produksi, dan sesama manusia dalam sistem kapitalis. Artikel ini akan membahas bagaimana Marhaenisme berupaya mengatasi fenomena alienasi yang dialami oleh kaum marhaen di Indonesia, dengan mengacu pada data dan fakta terbaru.
Marhaenisme dan Upaya Mengatasi Alienasi
Marhaenisme menekankan pentingnya kemandirian ekonomi bagi kaum marhaen. Dengan memiliki alat produksi sendiri, seperti lahan pertanian atau usaha kecil, kaum marhaen diharapkan dapat menghindari eksploitasi dan alienasi yang terjadi dalam sistem kapitalis. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, tantangan terhadap kemandirian ekonomi semakin kompleks.
Fenomena de-industrialisasi, misalnya, telah mengurangi kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB menurun dari 29% pada tahun 2001 menjadi sekitar 19% pada 2023. Penurunan ini berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal, memaksa banyak pekerja beralih ke sektor informal yang sering kali tidak memberikan jaminan sosial dan rentan terhadap alienasi.
Selain itu, globalisasi dan masuknya produk impor telah menekan industri lokal. Banyak pabrik tutup karena tidak mampu bersaing, yang mengakibatkan peningkatan pengangguran dan ketergantungan pada barang impor. Kondisi ini bertentangan dengan semangat Marhaenisme yang mendorong kemandirian ekonomi dan berpotensi meningkatkan alienasi di kalangan pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Tantangan Alienasi di Era Digital
Era digital membawa tantangan baru terkait alienasi. Di satu sisi, teknologi digital menawarkan peluang untuk meningkatkan efisiensi dan membuka pasar baru bagi produk lokal. Namun, akses yang tidak merata terhadap teknologi dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2023, masih ada sekitar 12.000 desa di Indonesia yang belum terjangkau oleh jaringan internet. Keterbatasan akses ini menghambat partisipasi kaum marhaen dalam ekonomi digital, yang dapat memperdalam rasa keterasingan mereka dari arus utama perkembangan ekonomi.
Selain itu, dominasi platform digital besar dapat menciptakan bentuk alienasi baru. Pekerja gig economy, misalnya, sering kali menghadapi kondisi kerja yang tidak stabil, tanpa jaminan sosial, dan terisolasi dari komunitas kerja tradisional. Meskipun mereka memiliki fleksibilitas, banyak yang merasa terasing karena kurangnya hubungan dengan kolega dan ketidakpastian pendapatan.
Upaya Mengatasi Alienasi melalui Marhaenisme
Untuk mengatasi alienasi yang dialami oleh kaum marhaen, penerapan prinsip-prinsip Marhaenisme perlu disesuaikan dengan konteks saat ini. Salah satunya adalah dengan mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dapat meningkatkan kemandirian ekonomi. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada tahun 2023, UMKM menyumbang sekitar 60% dari PDB Indonesia dan menyerap 97% tenaga kerja. Namun, banyak UMKM yang masih menghadapi kendala akses permodalan, teknologi, dan pasar. Pemberdayaan UMKM melalui pelatihan, akses permodalan, dan digitalisasi dapat membantu mengurangi alienasi dengan memberikan kontrol lebih besar kepada individu atas pekerjaan mereka.
Selain itu, reformasi agraria yang sejati perlu dilaksanakan untuk memastikan distribusi lahan yang adil bagi petani kecil. Program Reforma Agraria yang digulirkan pemerintah Indonesia bertujuan mendistribusikan lahan kepada petani kecil yang selama ini tidak memiliki akses terhadap tanah. Namun, hingga tahun 2023, implementasi program ini masih jauh dari target yang diharapkan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa baru sekitar 20% dari target redistribusi lahan yang telah terealisasi. Dengan memiliki lahan sendiri, petani dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak atau perusahaan besar, sehingga mengurangi alienasi.
Pendidikan dan peningkatan kesadaran kelas juga penting dalam upaya mengatasi alienasi. Dengan memahami posisi mereka dalam struktur sosial dan ekonomi, kaum marhaen dapat lebih proaktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, membangun kesadaran kelas ini menghadapi tantangan dalam konteks kapitalisme global yang cenderung mempromosikan individualisme dan konsumsi. Oleh karena itu, pendidikan yang menekankan kesadaran kritis dan solidaritas perlu ditingkatkan.
Kesimpulan
Marhaenisme menawarkan kerangka kerja yang relevan untuk mengatasi fenomena alienasi yang dialami oleh kaum marhaen di Indonesia. Namun, tantangan yang dihadapi semakin kompleks dengan adanya de-industrialisasi, ketimpangan akses teknologi, dan dinamika ekonomi global. Oleh karena itu, diperlukan adaptasi dan penerapan strategi yang sesuai dengan konteks saat ini, termasuk pemberdayaan UMKM, reformasi agraria, dan pendidikan kesadaran kelas, untuk mencapai kemandirian ekonomi dan keadilan sosial yang diidamkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI