Kota Bandung, yang dikenal dengan julukan "Parijs van Java," kini menghadapi permasalahan serius dalam sektor transportasi. Kemacetan lalu lintas telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warganya. Data dari TomTom Traffic Index 2024 menempatkan Bandung sebagai kota termacet ke-12 di dunia, dengan rata-rata waktu tempuh 32 menit 37 detik per 10 km dan kehilangan waktu sekitar 108 jam per tahun akibat kemacetan.Â
Fakta dan Data Terkini
Menurut data dari Electronic Registration and Identification (ERI) Korlantas Polri, jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung mencapai 2,36 juta unit pada September 2024. Dari jumlah tersebut, sepeda motor mendominasi dengan 1,78 juta unit, diikuti mobil penumpang sebanyak 474,23 ribu unit. Penjabat Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, mengungkapkan bahwa pergerakan orang di Bandung Raya mencapai 16.727.436 perjalanan per hari, dengan volume lalu lintas meningkat 10-15% per tahun. Hal ini menunjukkan tingginya mobilitas penduduk yang tidak diimbangi dengan infrastruktur transportasi yang memadai.Â
Sayangnya, penggunaan transportasi umum di Kota Bandung masih tergolong rendah. Pada tahun 2023, rasio pengguna transportasi umum hanya mencapai 9,84%. Rendahnya angka ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, yang berkontribusi pada peningkatan kemacetan dan polusi udara.
Marhaenisme: Prinsip dan Penerapannya
Marhaenisme, yang digagas oleh Soekarno, berfokus pada pemberdayaan rakyat kecil (kaum Marhaen) melalui kemandirian ekonomi dan sosial. Prinsip ini menekankan keadilan sosial, pemerataan sumber daya, dan kemandirian masyarakat. Dalam konteks transportasi publik, penerapan Marhaenisme dapat diwujudkan melalui:
1. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Mengutamakan penggunaan produk dan jasa lokal dalam pengembangan transportasi, seperti melibatkan koperasi lokal dalam operasional angkutan umum. Hal ini sejalan dengan semangat Marhaenisme yang menghendaki penghapusan segala bentuk pertentangan dan perbedaan yang menyebabkan kesengsaraan rakyat.Â
2. Partisipasi Masyarakat: Mengajak masyarakat berperan aktif dalam perencanaan dan pengelolaan transportasi publik, memastikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya lokal. Etika politik Marhaenisme menekankan pada peran aktif rakyat dalam proses pembangunan dan penguasaan atas sumber daya ekonomi.Â
3. Keadilan Sosial: Menyediakan akses transportasi yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan, dengan tarif terjangkau dan layanan berkualitas. Marhaenisme menghendaki penghapusan segala bentuk pertentangan dan perbedaan yang menyebabkan kesengsaraan rakyat.Â
Implementasi Marhaenisme dalam Transportasi Publik Bandung
Untuk mengatasi krisis transportasi di Bandung melalui pendekatan Marhaenisme, langkah-langkah berikut dapat dipertimbangkan:
1. Revitalisasi Angkutan Umum Tradisional: Mengintegrasikan angkutan kota (angkot) ke dalam sistem transportasi modern dengan peremajaan armada, pelatihan pengemudi, dan penetapan rute yang efisien. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi umum dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
2. Pengembangan Transportasi Berbasis Komunitas: Mendorong inisiatif transportasi yang dikelola oleh komunitas atau koperasi, seperti bus komunitas atau layanan transportasi berbasis aplikasi lokal. Langkah ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas transportasi, tetapi juga memberdayakan ekonomi lokal.
3. Subsidi dan Insentif: Memberikan subsidi bagi operator transportasi lokal dan insentif bagi masyarakat yang beralih ke transportasi umum, mengurangi beban biaya dan meningkatkan daya tarik layanan. Kebijakan ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan transportasi publik.
4. Pendidikan dan Kesadaran Publik: Melakukan kampanye edukatif tentang manfaat penggunaan transportasi umum dan dampaknya terhadap lingkungan serta kualitas hidup. Peningkatan kesadaran ini penting untuk mengubah perilaku masyarakat dalam memilih moda transportasi.
Tantangan dan Peluang
Meskipun pendekatan Marhaenisme menawarkan solusi berbasis kerakyatan, tantangan seperti resistensi terhadap perubahan, keterbatasan dana, dan kompleksitas koordinasi antar pemangku kepentingan perlu diatasi. Namun, dengan komitmen pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, transformasi sistem transportasi yang adil dan berkelanjutan dapat terwujud. Penerapan nilai-nilai Marhaenisme dalam kebijakan transportasi publik dapat menjadi langkah progresif menuju keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulan
Penerapan prinsip Marhaenisme dalam mengatasi krisis transportasi publik di Bandung menawarkan pendekatan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat, keadilan sosial, dan kemandirian. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam kebijakan dan implementasi transportasi, diharapkan Bandung dapat mengurangi kemacetan, meningkatkan kualitas hidup warganya, dan menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam mengelola tantangan urbanisasi.Â
Kota Bandung saat ini menghadapi tantangan serius dalam sektor transportasi, termasuk kemacetan, minimnya penggunaan transportasi umum, dan tingginya ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Data terbaru menunjukkan bahwa Bandung termasuk dalam 12 kota termacet di dunia, dengan rata-rata waktu tempuh yang semakin meningkat akibat kepadatan kendaraan bermotor. Jika tidak ada upaya serius dalam perbaikan sistem transportasi, dampaknya tidak hanya pada mobilitas masyarakat tetapi juga pada kualitas udara, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi kota.
Pendekatan Marhaenisme dalam transportasi publik menekankan tiga aspek utama: pemerataan akses, partisipasi masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Revitalisasi angkot, pengembangan transportasi berbasis komunitas, pemberian subsidi dan insentif, serta edukasi publik merupakan langkah-langkah strategis yang dapat diterapkan untuk mendorong peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Dengan dukungan pemerintah dan masyarakat, transportasi publik yang lebih layak, terjangkau, dan berkelanjutan bisa terwujud.
Selain itu, penerapan Marhaenisme dalam transportasi tidak hanya soal penyediaan fasilitas fisik, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih demokratis dan berkeadilan. Transportasi publik yang inklusif harus mempertimbangkan kebutuhan semua lapisan masyarakat, termasuk pekerja, mahasiswa, penyandang disabilitas, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang diterapkan harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta.
Tentu saja, implementasi konsep Marhaenisme dalam transportasi tidak lepas dari berbagai tantangan, seperti resistensi dari kelompok tertentu, keterbatasan anggaran, dan masalah birokrasi. Namun, dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan dukungan masyarakat, solusi berbasis Marhaenisme dapat menjadi jalan keluar dari krisis transportasi publik yang saat ini dihadapi Kota Bandung.
Pada akhirnya, krisis transportasi bukan hanya persoalan infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana sebuah kota memberikan layanan yang adil dan berkualitas bagi seluruh warganya. Jika prinsip Marhaenisme diterapkan secara konsisten dalam perencanaan dan pengelolaan transportasi publik, Kota Bandung dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membangun sistem transportasi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat kecil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI