Meskipun ajaran Islam dan nilai-nilai Marhaenisme menekankan pentingnya toleransi, kenyataannya dalam masyarakat Indonesia masih terdapat tantangan besar terkait sikap intoleransi. Data terbaru menunjukkan adanya peningkatan intoleransi, terutama di kalangan remaja. Menurut laporan Setara Institute, intoleransi di kalangan pelajar SMA meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Survei yang dilakukan pada Januari-Februari 2023 menunjukkan bahwa jumlah pelajar yang memiliki sikap intoleran aktif meningkat dari 2,4% pada 2016 menjadi 5,0% pada 2023. Selain itu, yang terpapar ekstremisme kekerasan juga meningkat, meskipun persentasenya masih terbilang kecil, dari 0,3% pada 2016 menjadi 0,6% pada 2023.
Sementara itu, survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2020 menunjukkan bahwa sekitar 30,16% mahasiswa di Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Meski demikian, sekitar 88,78% mahasiswa menunjukkan perilaku toleransi yang tinggi atau sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam sikap toleransi, tantangan terhadap intoleransi dan ekstremisme tetap ada, terutama di kalangan generasi muda yang rentan terhadap pengaruh radikalisasi.
Toleransi Tanpa Merusak Aqidah: Jalan Tengah
Untuk menerapkan toleransi tanpa merusak aqidah Islam, umat Islam perlu memahami dengan jelas batasan toleransi dalam ajaran agamanya. Sikap toleran yang dianjurkan Islam adalah penghargaan terhadap perbedaan, tanpa harus mengorbankan keyakinan agama. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjaga toleransi ini antara lain:
1. Pendidikan Agama yang Komprehensif: Pendidikan agama yang mendalam akan membantu umat Islam memahami ajaran agama secara utuh, sehingga dapat membedakan antara toleransi yang diajarkan oleh Islam dan tindakan yang dapat merusak aqidah.
2. Dialog Antaragama: Mengadakan dialog antaragama yang saling menghormati akan membantu mengurangi prasangka dan membangun pemahaman yang lebih baik antara umat Islam dan pemeluk agama lain, tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing.
3. Menghindari Sinkretisme: Meskipun Islam mengajarkan toleransi, umat Islam harus menghindari praktik sinkretisme, yaitu mencampuradukkan ajaran agama lain dengan Islam yang dapat merusak kemurnian aqidah.
4. Menjaga Identitas Keislaman: Umat Islam harus tetap teguh pada ajaran agamanya, menjaga identitas keislamannya sambil tetap menghormati hak orang lain untuk berkeyakinan.
Integrasi Marhaenisme dengan Toleransi
Nilai-nilai Marhaenisme, yang mendorong perjuangan untuk keadilan sosial dan hak-hak rakyat kecil, sangat sejalan dengan prinsip-prinsip toleransi dalam Islam. Keduanya menekankan pada penghargaan terhadap hak individu dan kelompok tanpa membedakan agama, ras, atau golongan. Dalam kehidupan bermasyarakat, Marhaenisme mendorong umat Islam untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, dengan cara menghargai keberagaman dan memperjuangkan hak-hak orang yang termarjinalkan.
Sebagai umat Islam, kita dapat mengimplementasikan nilai-nilai Marhaenisme dengan cara mendukung kebijakan yang pro-rakyat kecil, berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang mempromosikan toleransi, serta menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Marhaenisme mengajarkan bahwa keadilan sosial dan keberagaman harus dihargai, dan setiap individu berhak untuk hidup dalam damai tanpa rasa takut akan diskriminasi.