Marhaenisme, sebuah ideologi yang digagas oleh Soekarno, bertumpu pada semangat keadilan sosial dan pemerataan kepemilikan sumber daya. Dalam ideologi ini, kaum marhaen---yang meliputi petani kecil, buruh, dan rakyat jelata---dianggap sebagai elemen utama bangsa yang harus diberdayakan. Fokus utama Marhaenisme adalah memastikan setiap individu memiliki akses terhadap alat produksi, termasuk tanah, untuk menjamin kemandirian ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Dalam konteks Indonesia modern, gagasan ini tetap relevan. Salah satu upaya konkret yang sejalan dengan prinsip Marhaenisme adalah pembentukan Badan Bank Tanah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021. Badan ini bertugas menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, reforma agraria, pembangunan sosial-ekonomi, dan proyek strategis nasional.
Peran Badan Bank Tanah dalam Reforma Agraria
Salah satu misi utama Badan Bank Tanah adalah mendukung program reforma agraria, yang bertujuan redistribusi tanah kepada masyarakat kecil. Reforma agraria merupakan langkah penting untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan, terutama bagi petani kecil yang sering terpinggirkan. Hingga 2024, Badan Bank Tanah telah mengelola lebih dari 27.000 hektar lahan di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai contoh, di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Badan Bank Tanah pada tahun 2024 menyediakan lahan seluas 203 hektar untuk redistribusi kepada petani kecil. Program ini tidak hanya bertujuan memberikan tanah, tetapi juga meningkatkan kemampuan produksi masyarakat melalui pendampingan dan bantuan teknis. Langkah ini sesuai dengan semangat Marhaenisme, yaitu memperkuat posisi kaum marhaen agar mampu berdikari secara ekonomi.
Namun, keberhasilan program ini membutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sosialisasi yang menyeluruh diperlukan agar masyarakat memahami tujuan dan manfaat program ini. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan lahan menjadi kunci untuk menciptakan kepercayaan publik.
Tantangan dalam Implementasi
Meskipun memiliki tujuan mulia, Badan Bank Tanah menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Salah satu masalah utama adalah resistensi dari masyarakat yang merasa tidak puas dengan proses pengadaan tanah, terutama terkait kompensasi yang dianggap tidak adil. Banyak masyarakat yang khawatir bahwa pengadaan tanah justru akan merugikan mereka, terutama di wilayah yang strategis secara ekonomi.
Kritik lain yang sering muncul adalah potensi manipulasi lahan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam beberapa kasus, tanah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik justru beralih fungsi menjadi kawasan komersial yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat kecil.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme penilaian ganti rugi tanah. Penilaian harus dilakukan secara objektif, transparan, dan melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu, pengawasan yang ketat dari pihak independen diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tanah oleh Badan Bank Tanah.