Di ujung timur, fajar mengguratkan siluet merah,
Mentari berdandan dengan riasan kabut nan lelah.
Namun, di balik tirai embun yang menggigil pilu,
Ada nestapa yang melukis langit biru.
Burung-burung berkidung, suara yang meronta,
Seolah membawa pesan dari jiwa yang luka.
Angin pagi merangkai doa di antara dedaunan,
Namun membisikkan tangis dari jiwa yang berantakan.
Di sela gemulai sinar mentari yang membelai lembut,
Ada hati yang rapuh, terikat nestapa yang surut.
Seperti embun yang jatuh dari kelopak bunga,
Harapan menguap, tak tersisa bahagia.
Langit pagi menenun jingga dalam kain takdir,
Namun bayang-bayang gelap tetap hadir.
Mentari mencoba memeluk, menawarkan hangat,
Namun hatiku adalah rimba tanpa arah dan tempat.
Nestapa ini, seperti reruntuhan di dasar samudra,
Diam, dalam, dan tanpa suara.
Fajar datang seperti janji yang sia-sia,
Hanya membalut luka dengan cahaya sementara.
Oh pagi, engkau lukisan paradoks yang abadi,
Antara janji baru dan duka yang tak terganti.
Biarkan aku menjadi serpihan dalam cakrawala,
Menghilang bersama nestapa, menuju senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H