Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada Langsung: Wujud Demokrasi Liberal?

24 Desember 2024   04:48 Diperbarui: 24 Desember 2024   05:19 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di Indonesia telah menjadi topik perdebatan yang intens dalam konteks demokrasi liberal. Sejak diperkenalkan pada tahun 2005, mekanisme ini dianggap sebagai langkah maju dalam memberikan hak suara langsung kepada rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan: apakah Pilkada langsung benar-benar mencerminkan demokrasi liberal, atau justru menghadirkan tantangan baru bagi sistem politik Indonesia?

Pilkada Langsung: Manifestasi Demokrasi Liberal

Demokrasi liberal menekankan partisipasi langsung warga negara dalam proses politik, perlindungan hak-hak individu, dan mekanisme checks and balances yang kuat. Dalam konteks ini, Pilkada langsung memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat langsung dalam pemilihan pemimpin daerah, tanpa perantara seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi liberal yang mendorong keterlibatan aktif warga dalam menentukan arah kebijakan publik.

Selain itu, Pilkada langsung diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pemimpin daerah terhadap konstituen mereka. Dengan adanya hubungan langsung antara pemilih dan yang dipilih, pemimpin daerah diharapkan lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.

Tantangan dalam Implementasi Pilkada Langsung

Meskipun demikian, implementasi Pilkada langsung tidak lepas dari berbagai tantangan yang dapat mengaburkan esensi demokrasi liberal itu sendiri. Beberapa isu yang muncul antara lain:

1. Biaya Politik yang Tinggi: Pilkada langsung seringkali memerlukan biaya kampanye yang besar. Hal ini dapat mendorong praktik politik uang dan korupsi, di mana kandidat mencari sumber dana dengan cara yang tidak transparan atau bahkan ilegal. Willy Aditya dari Partai Nasdem menekankan pentingnya demokrasi dan Pilkada langsung meski ada tantangan biaya politik tinggi. 

2. Dinasti Politik: Fenomena dinasti politik menjadi perhatian serius dalam Pilkada langsung. Data terbaru menunjukkan adanya 605 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki keterkaitan dengan dinasti politik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya oligarki lokal yang bertentangan dengan semangat demokrasi liberal.

3. Kualitas Kandidat: Proses Pilkada langsung tidak selalu menghasilkan pemimpin yang kompeten. Popularitas seringkali mengalahkan kompetensi, sehingga pemimpin terpilih mungkin tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan pemerintahan daerah secara efektif.

4. Partisipasi Pemilih yang Menurun: Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 mengalami penurunan signifikan, hanya mencapai sekitar 71 persen dibandingkan 76 persen pada Pilkada 2020 dan 81 persen pada Pemilu 2024. Hal ini menunjukkan adanya apatisme politik yang dapat mengancam legitimasi proses demokratis.

Kontroversi Terkini: Revisi UU Pilkada dan Protes Publik

Pada Agustus 2024, muncul kontroversi terkait revisi Undang-Undang Pilkada yang dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Revisi ini dituding hanya menguntungkan kandidat tertentu yang memiliki hubungan dengan keluarga petahana, sehingga memicu protes publik dan gerakan #KawalPutusanMK di media sosial. Protes ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kemunduran demokrasi dan munculnya nepotisme dalam politik lokal.

Refleksi terhadap Demokrasi Liberal di Indonesia

Pilkada langsung, sebagai manifestasi "demokrasi liberal", menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Di satu sisi, mekanisme ini memperkuat partisipasi politik masyarakat dan akuntabilitas pemimpin daerah. Namun, di sisi lain, berbagai permasalahan seperti biaya politik yang tinggi, dinasti politik, dan penurunan partisipasi pemilih menunjukkan bahwa demokrasi liberal tidak hanya tentang prosedur elektoral, tetapi juga kualitas dan integritas proses politik itu sendiri.

Untuk memastikan bahwa Pilkada langsung benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi pancasila, diperlukan upaya perbaikan dalam sistem politik Indonesia. Hal ini mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang, pembatasan terhadap dinasti politik, peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat, dan reformasi sistem pemilihan untuk memastikan bahwa kandidat yang kompeten dan berintegritas dapat terpilih.

Selain itu, transparansi dalam proses legislasi, seperti yang terlihat dalam kontroversi revisi UU Pilkada, harus dijaga untuk mencegah munculnya regulasi yang menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan prinsip demokrasi. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proses politik dan legislasi menjadi kunci dalam menjaga kualitas demokrasi liberal di Indonesia.

Pilkada Langsung dalam Perspektif Demokrasi Terpimpin Soekarno

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung merupakan salah satu pilar utama demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Namun, jika ditinjau dari kacamata Demokrasi Terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno, Pilkada langsung dapat menimbulkan perdebatan ideologis yang mendalam. Demokrasi Terpimpin tidak hanya berfokus pada proseduralisme politik seperti pemilihan langsung, tetapi juga mengutamakan integrasi nasional, kolektivitas, dan kepemimpinan kuat yang berorientasi pada kepentingan rakyat marhaen.

Prinsip Demokrasi Terpimpin Soekarno

Demokrasi Terpimpin yang diterapkan pada era 1959-1965 bertumpu pada tiga prinsip utama:

1. Gotong Royong: Soekarno menekankan pentingnya semangat kolektivitas dan kerja sama dalam pengambilan keputusan. Sistem ini menolak individualisme dan liberalisme yang menjadi ciri demokrasi Barat.

2. Kepemimpinan Sentral: Pemimpin nasional memiliki peran utama sebagai penggerak dan penentu arah politik. Demokrasi Terpimpin tidak memberikan ruang yang besar bagi fragmentasi politik.

3. Anti-Liberalisme: Demokrasi ini menolak mekanisme pemilu yang hanya mengutamakan suara mayoritas, tetapi mengabaikan substansi keadilan sosial.

Dalam konteks ini, Pilkada langsung yang berbasis suara mayoritas mungkin dianggap bertentangan dengan semangat Demokrasi Terpimpin. Soekarno lebih memilih pendekatan musyawarah untuk mufakat sebagai sarana memilih pemimpin, yang mencerminkan harmoni dan persatuan.

Pilkada Langsung: Benturan dengan Nilai Demokrasi Terpimpin

Pilkada langsung, yang mulai diterapkan pada tahun 2005, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemimpin daerah mereka. Mekanisme ini dianggap sebagai wujud demokrasi partisipatoris. Namun, jika dilihat dari perspektif Demokrasi Terpimpin, beberapa aspek Pilkada langsung menimbulkan kritik:

1. Fragmentasi Politik:

Dalam Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengutamakan persatuan nasional di atas segalanya. Pilkada langsung sering kali memunculkan polarisasi politik di tingkat lokal. Kompetisi yang ketat antar kandidat dapat menimbulkan perpecahan sosial di masyarakat.

2. Kelemahan Musyawarah:

Pilkada langsung berbasis pada suara terbanyak, yang sering kali mengabaikan proses musyawarah mufakat. Dalam Demokrasi Terpimpin, musyawarah menjadi cara utama untuk mencapai konsensus tanpa mengorbankan minoritas.

3. Biaya Politik yang Tinggi:

Soekarno mengkritik keras pengaruh kapitalisme dalam politik. Pilkada langsung kerap menjadi ladang praktik politik uang dan kampanye mahal, yang berpotensi melahirkan pemimpin yang lebih loyal kepada penyandang dana daripada kepada rakyat.

4. Krisis Kepemimpinan Kolektif:

Demokrasi Terpimpin menekankan pentingnya kepemimpinan kolektif yang mendukung kepentingan rakyat marhaen. Sebaliknya, Pilkada langsung terkadang melahirkan pemimpin daerah yang hanya fokus pada popularitas pribadi tanpa visi kolektif yang jelas.

Pilkada Langsung: Kesempatan dalam Bingkai Demokrasi Terpimpin

Meskipun Pilkada langsung memiliki perbedaan signifikan dengan prinsip Demokrasi Terpimpin, bukan berarti sistem ini tidak dapat diselaraskan. Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah:

1. Musyawarah sebagai Fondasi:

Pilkada langsung dapat diintegrasikan dengan nilai musyawarah mufakat. Sebelum pemilu, partai politik lokal atau kelompok masyarakat dapat menginisiasi musyawarah untuk menyepakati kandidat yang terbaik, sehingga kompetisi yang terjadi benar-benar berdasarkan kualitas dan integritas.

2. Pendidikan Politik Rakyat:

Dalam Demokrasi Terpimpin, rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga subjek dalam proses pendidikan politik. Pilkada langsung harus dijadikan sarana untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat tentang pentingnya memilih pemimpin yang berorientasi pada keadilan sosial.

3. Regulasi Anti-Kapitalisme:

Untuk mencegah biaya politik yang tinggi, diperlukan regulasi ketat yang membatasi pengaruh kapitalisme dalam Pilkada. Pendekatan ini sejalan dengan semangat anti-liberalisme Soekarno.

4. Penguatan Kepemimpinan Progresif:

Pilkada langsung harus diarahkan untuk memilih pemimpin yang memiliki visi progresif dalam memperjuangkan hak-hak rakyat marhaen, sebagaimana cita-cita Demokrasi Terpimpin.

Contoh Nyata: Dinamika Pilkada di Indonesia

Fenomena dinasti politik dan oligarki dalam Pilkada langsung menunjukkan pentingnya pendekatan ala Demokrasi Terpimpin. Pada Pilkada 2020, data menunjukkan bahwa lebih dari 50% calon kepala daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat petahana. Hal ini mengindikasikan perlunya mekanisme seleksi yang lebih berorientasi pada kolektivitas daripada individualitas.

Selain itu, gerakan masyarakat sipil yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam Pilkada mencerminkan semangat gotong royong yang dapat diperkuat untuk mengurangi pengaruh negatif demokrasi liberal.

Kesimpulan

Pilkada langsung, jika dilihat dari kacamata Demokrasi Terpimpin Soekarno, membawa peluang sekaligus tantangan. Sistem ini dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat, tetapi juga berisiko menciptakan fragmentasi dan kapitalisme politik. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai musyawarah mufakat, pendidikan politik, dan regulasi yang ketat, Pilkada langsung dapat diselaraskan dengan semangat Demokrasi Terpimpin yang mengutamakan keadilan sosial dan persatuan nasional.

Demokrasi Terpimpin tidak sepenuhnya menolak demokrasi elektoral, tetapi menekankan perlunya substansi keadilan dan keberpihakan kepada rakyat. Oleh karena itu, Pilkada langsung harus diarahkan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat marhaen, sebagaimana visi besar Soekarno dalam membangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.

Kesimpulan

Pilkada langsung merupakan wujud nyata dari penerapan demokrasi liberal di Indonesia, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka secara langsung. Namun, berbagai tantangan yang muncul menunjukkan bahwa mekanisme ini masih memerlukan perbaikan agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi liberal yang sejati. Diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk memastikan bahwa Pilkada langsung tidak hanya menjadi prosedur formal, tetapi juga sarana efektif dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun