Marhaenisme adalah ideologi yang dirumuskan oleh Soekarno, Presiden pertama Indonesia, sebagai perlawanan terhadap penindasan kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Ideologi ini diilhami oleh pertemuan Soekarno dengan seorang petani kecil bernama Marhaen di Bandung pada tahun 1920-an. Marhaen memiliki alat produksi sendiri tetapi tetap hidup dalam kemiskinan. Pengalaman ini mencerminkan kondisi mayoritas rakyat Indonesia pada masa itu, yang memiliki aset tetapi tidak dapat mengubah hidup mereka karena struktur ekonomi yang timpang. Dari sinilah lahir gagasan tentang Marhaenisme, yang menekankan kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Namun, di era modern, nilai-nilai Marhaenisme menghadapi tantangan serius, terutama dalam konteks kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan yang menimbulkan polemik adalah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. UU ini dirancang untuk meningkatkan penerimaan pajak negara, menyederhanakan aturan perpajakan, dan memperkuat keberlanjutan fiskal. Namun, implementasi UU ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama karena dampaknya terhadap rakyat kecil---kaum yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam semangat Marhaenisme.
Kenaikan Tarif PPN: Dampak bagi Kaum Marhaen
Salah satu poin utama UU HPP adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dengan rencana kenaikan lebih lanjut menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan ini menimbulkan pertanyaan besar karena PPN adalah pajak konsumsi yang dibebankan kepada konsumen akhir. Akibatnya, masyarakat luas, terutama golongan menengah ke bawah, akan merasakan dampaknya secara langsung melalui kenaikan harga barang dan jasa.
Kaum Marhaen, yang mayoritas adalah petani kecil, buruh, dan pedagang kecil, akan semakin terbebani dengan kenaikan ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi pada tahun 2023 meningkat menjadi 4,3%, sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Dampak ini bertentangan dengan prinsip Marhaenisme yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil dan menolak sistem yang memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi.
Pajak Karbon: Progresif atau Regresif?
UU HPP juga memperkenalkan pajak karbon, yang mulai diterapkan pada April 2022 dengan tarif Rp30 per kilogram CO2e (karbon dioksida ekuivalen). Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan mendorong penggunaan energi bersih. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini menimbulkan kontroversi.
Industri yang belum siap beralih ke teknologi ramah lingkungan kemungkinan akan membebankan biaya tambahan ini kepada konsumen. Hal ini berpotensi memberatkan masyarakat umum, terutama mereka yang bergantung pada energi konvensional. Sebagai contoh, tarif listrik untuk rumah tangga meningkat sebesar 5% pada tahun 2024, memicu keresahan di kalangan masyarakat kecil. Kebijakan ini, meskipun memiliki tujuan lingkungan yang mulia, harus diimbangi dengan perlindungan bagi rakyat kecil agar tidak semakin terpinggirkan.
Penerimaan Pajak dan Alokasinya
Dari sisi penerimaan, kebijakan ini menunjukkan hasil positif. Menurut Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak hingga November 2024 mencapai Rp1.500 triliun, meningkat 20% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, pertanyaan utama adalah sejauh mana dana ini dialokasikan untuk program-program yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat kecil.