(Tanggapan Untuk Walikota Bandung Terpilih 2025-2030)
Pernyataan Wali Kota Bandung terpilih 2025-2030, Kang Farhan, yang menyatakan bahwa "tidak akan ada oposisi di DPRD Bandung" memicu diskusi luas tentang arah demokrasi lokal di Indonesia. Sementara gagasan ini mungkin didasarkan pada niat untuk menciptakan harmoni politik, implikasinya terhadap prinsip-prinsip demokrasi seperti checks and balances perlu dievaluasi lebih dalam.
Oposisi Sebagai Pilar Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, oposisi memiliki fungsi mendasar: menjadi pengawas kebijakan pemerintah. Peran oposisi adalah memberikan masukan, kritik, dan alternatif kebijakan untuk memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Ketidakhadiran oposisi dapat menciptakan ruang bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa hingga 2023, lebih dari 70% kasus korupsi terjadi di tingkat pemerintahan daerah. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kebijakan publik. Jika tidak ada oposisi di DPRD Bandung, siapakah yang akan menjalankan fungsi kontrol tersebut? Masyarakat tentu tidak ingin pemerintah daerah menjadi monolitik tanpa ruang untuk perbedaan pendapat.
Demokrasi Pancasila: Musyawarah dan Kritik
Sebagai negara yang menganut Demokrasi Pancasila, Indonesia menempatkan nilai musyawarah mufakat sebagai landasan dalam pengambilan keputusan. Namun, musyawarah yang sehat mensyaratkan adanya ruang untuk perbedaan pandangan dan kritik. Dalam konteks ini, pernyataan Kang Farhan dapat dipertanyakan: apakah harmoni politik tanpa oposisi sesuai dengan semangat Demokrasi Pancasila?
Dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, ia menegaskan pentingnya "permusyawaratan" dalam mencapai tujuan bersama. Namun, Bung Karno juga menekankan bahwa kritik adalah bagian dari proses demokrasi. Dalam praktiknya, apakah DPRD Bandung akan mampu menjamin bahwa keputusan yang diambil tanpa oposisi tetap mencerminkan kepentingan rakyat banyak?
Risiko Pemerintahan Tanpa Oposisi
1. Minimnya Akuntabilitas
Tanpa oposisi, kebijakan pemerintah berisiko tidak dievaluasi secara objektif. Oposisi biasanya menjadi pihak yang menyoroti kelemahan kebijakan dan mendorong perbaikan. Absennya oposisi dapat memperlemah mekanisme evaluasi ini.
2. Kritik yang Tersumbat
Ketidakhadiran oposisi formal dapat menyebabkan kritik dari masyarakat tidak tersampaikan secara efektif. Hal ini berisiko menciptakan keresahan sosial di kalangan masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diakomodasi.
3. Potensi Sentralisasi Kekuasaan
Dalam pemerintahan tanpa oposisi, ada risiko sentralisasi kekuasaan pada satu kelompok atau partai. Kondisi ini dapat mengurangi keberagaman pandangan yang penting untuk mendukung kebijakan inklusif.
Studi Kasus: Pemerintahan Lokal Tanpa Oposisi
Beberapa daerah di Indonesia pernah mencoba pendekatan tanpa oposisi, namun hasilnya seringkali tidak memuaskan. Studi tahun 2022 menunjukkan bahwa daerah dengan oposisi yang kuat cenderung memiliki indeks tata kelola pemerintahan yang lebih baik dibandingkan daerah tanpa oposisi. Pemerintah daerah yang menerima kritik cenderung lebih transparan dan akuntabel.
Selain itu, 65% masyarakat mendukung keberadaan oposisi di parlemen lokal sebagai mekanisme kontrol terhadap pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa publik menyadari pentingnya oposisi dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.
Solusi dan Harapan untuk Bandung
Kang Farhan sebagai Wali Kota Bandung terpilih memiliki tantangan besar untuk menjaga keseimbangan antara harmoni politik dan prinsip demokrasi. Jika benar tidak ada oposisi di DPRD Bandung, maka harus ada mekanisme alternatif untuk memastikan pengawasan terhadap pemerintah berjalan efektif. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Forum Konsultasi Publik
Membuka ruang dialog antara pemerintah, masyarakat, dan kelompok independen untuk mengevaluasi kebijakan. Forum ini dapat menjadi substitusi sementara untuk memastikan aspirasi rakyat tetap didengar.
2. Penguatan Peran Media, LSM dan Gerakan MahasiswaÂ
Media massa, LSM, Dan Gerakan Mahasiswa dapat berfungsi sebagai oposisi informal yang memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Pemerintah Bandung harus mendukung kebebasan pers dan kerja LSM untuk menjaga transparansi.
3. Partisipasi Aktif Masyarakat
Pemerintah perlu mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah terbuka dan survei kebijakan. Dengan demikian, masyarakat dapat langsung memberikan masukan terhadap jalannya pemerintahan.
Refleksi Akhir
Bandung adalah kota yang dikenal dengan inovasi dan keberagaman. Sebagai kota besar yang menjadi panutan, kebijakan tanpa oposisi di DPRD Bandung perlu dikaji ulang agar tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan dinamika antara pemerintah dan oposisi, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat.
Kang Farhan dan DPRD Bandung memiliki tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa harmoni politik yang mereka upayakan tidak akan mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Bandung dapat menjadi contoh bahwa stabilitas politik dapat berjalan seiring dengan transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan terhadap kritik. Kita semua berharap bahwa keputusan ini akan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan untuk masyarakat Bandung.
Pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan Kang Farhan akan diukur dari sejauh mana pemerintahannya mampu mengakomodasi keberagaman pandangan dan menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak. Bandung harus tetap menjadi simbol demokrasi yang progresif dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI