Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah salah satu kelompok pekerja yang sering kali berada dalam bayang-bayang eksploitasi dan ketidakadilan struktural. Dalam konteks Indonesia, perjuangan untuk memberikan perlindungan hukum kepada PRT sudah berlangsung lama. Salah satu upaya nyata adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini masih menjadi perdebatan panas di parlemen.
Sebagai ideologi yang mengusung keadilan sosial, Marhaenisme memiliki relevansi yang kuat dalam mendukung pengesahan RUU PPRT. Prinsip-prinsip Marhaenisme yang berpihak pada kaum marjinal dapat menjadi landasan moral untuk memastikan keadilan bagi PRT, yang sering kali terpinggirkan dalam sistem sosial dan ekonomi Indonesia.
### Pekerja Rumah Tangga: Pilar Ekonomi yang Terabaikan
Berdasarkan data yang dirilis oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2023, terdapat sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia. Dari jumlah tersebut, mayoritas adalah perempuan dan banyak di antaranya anak-anak. Mereka kerap bekerja tanpa kontrak yang jelas, tanpa jaminan kesehatan, dan dalam kondisi kerja yang rawan pelecehan serta kekerasan.
Menurut survei JALA PRT, pada tahun 2022 sebanyak 79% PRT melaporkan bekerja lebih dari delapan jam sehari tanpa upah lembur. Selain itu, 40% di antaranya tidak menerima upah yang sesuai dengan standar minimum regional. Fakta ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar PRT dalam relasi kerja mereka.
### Keterkaitan Marhaenisme dengan Perlindungan PRT
Marhaenisme, yang dipopulerkan oleh Bung Karno, adalah ideologi yang menekankan pentingnya pemberdayaan rakyat kecil sebagai pemilik alat produksi. Dalam konteks PRT, mereka adalah kaum Marhaen modern yang sering kali tidak memiliki kendali atas alat produksi atau bahkan atas diri mereka sendiri di tempat kerja.
Prinsip "berdikari" dalam Marhaenisme menuntut negara untuk hadir dalam melindungi hak-hak kelompok lemah. Melalui RUU PPRT, negara dapat mewujudkan peran tersebut dengan menyediakan kerangka hukum yang melindungi PRT dari eksploitasi, memberikan mereka akses kepada hak-hak dasar, dan memastikan bahwa pekerjaan mereka dihargai secara layak.
### Perjalanan Panjang RUU PPRT
RUU PPRT pertama kali diusulkan pada tahun 2004, namun hingga kini belum juga disahkan. Berbagai alasan disampaikan oleh pihak yang menolak, mulai dari ketakutan akan beban administratif hingga argumen bahwa pekerjaan rumah tangga adalah isu domestik yang tidak perlu diatur oleh negara.
Namun, pandangan tersebut mengabaikan fakta bahwa pekerja rumah tangga adalah pekerja yang berkontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional. Sebuah studi dari International Domestic Workers Federation (IDWF) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa pekerjaan PRT menyumbang hingga 2% dari PDB Indonesia melalui kontribusi tidak langsung dalam mendukung produktivitas keluarga pekerja formal.
Ketidakadilan terhadap PRT mencerminkan ketimpangan struktural yang lebih luas. Dalam hal ini, pengesahan RUU PPRT adalah langkah konkret untuk menjawab ketimpangan tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Komnas Perempuan pada 2023, RUU PPRT bukan hanya soal perlindungan pekerja, tetapi juga soal pengakuan martabat manusia.
### Tantangan dan Peluang
Meskipun mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia dan organisasi internasional, RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari beberapa anggota legislatif yang menganggap bahwa pengesahan undang-undang ini dapat mengurangi fleksibilitas hubungan kerja antara majikan dan pekerja.
Namun, peluang untuk mengesahkan RUU PPRT juga semakin besar. Dengan meningkatnya kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan PRT, tekanan terhadap parlemen semakin kuat. Dukungan dari tokoh-tokoh politik, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi momentum yang tidak boleh disia-siakan.
### Marhaenisme sebagai Solusi Ideologis
Dalam konteks perjuangan RUU PPRT, Marhaenisme dapat menjadi inspirasi untuk membangun solidaritas di antara kelompok pekerja, baik formal maupun informal. Prinsip-prinsip Marhaenisme mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu atau kelompok tertentu, tetapi seluruh masyarakat.
Sebagai ideologi yang menekankan pentingnya kemandirian dan keadilan sosial, Marhaenisme mendorong negara untuk hadir secara aktif dalam melindungi kelompok marjinal. Dalam hal ini, pengesahan RUU PPRT adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut diwujudkan dalam kebijakan publik.
### Penutup
RUU PPRT adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap keadilan sosial dan hak asasi manusia. Dalam perjuangan ini, Marhaenisme dapat menjadi pemandu moral yang mengingatkan kita bahwa keberpihakan kepada kaum kecil adalah esensi dari pembangunan nasional.
Dengan menyetujui RUU PPRT, Indonesia tidak hanya melindungi PRT, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini mampu mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Sebagaimana Bung Karno pernah berkata, "Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur." Kini saatnya kita membangun jembatan itu dengan memberikan perlindungan hukum yang layak bagi PRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H