Dalam perkembangan ekonomi Indonesia, isu subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi topik yang hangat dibahas. Baru-baru ini, ada wacana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang pengemudi ojek online (ojol) menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan ini memunculkan polemik, terutama jika dilihat dari sudut pandang ideologi Marhaenisme, yang menempatkan rakyat kecil sebagai fokus utama perjuangan.
### **Subsidi BBM: Untuk Siapa?**
Subsidi BBM bertujuan untuk meringankan beban ekonomi masyarakat, terutama golongan berpenghasilan rendah. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 40% rumah tangga termiskin di Indonesia masih sangat bergantung pada BBM bersubsidi untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, dalam praktiknya, distribusi subsidi sering kali tidak tepat sasaran. Studi mengungkapkan bahwa hampir kurang dari 70% subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Larangan ojol menggunakan BBM bersubsidi justru memperkeruh masalah ini. Ojol, yang mayoritas merupakan pekerja informal dengan pendapatan tidak tetap, masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan ini dianggap tidak adil karena menghilangkan akses mereka terhadap BBM bersubsidi, yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai bagian dari rakyat kecil.
### **Marhaenisme dan Keadilan Sosial**
Marhaenisme, sebagai ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, menempatkan kaum kecil, pekerja, dan petani sebagai subjek utama perjuangan. Dalam konteks ini, larangan ojol menggunakan BBM bersubsidi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Ojol adalah salah satu representasi nyata dari kaum marhaen di era modern. Mereka bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
Menurut data Asosiasi Pengemudi Ojek Online Indonesia (APOJI) tahun 2023, jumlah pengemudi ojol di Indonesia mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Sebagian besar dari mereka memiliki pendapatan di bawah UMR. Jika mereka dipaksa menggunakan BBM non-subsidi, biaya operasional akan meningkat signifikan. Sebagai contoh, selisih harga Pertalite (BBM bersubsidi) dan Pertamax (BBM non-subsidi) per liter mencapai Rp4.000. Dengan rata-rata konsumsi BBM 5 liter per hari, pengemudi harus mengeluarkan tambahan biaya Rp600.000 per bulan. Beban ini sangat memberatkan bagi mereka yang pendapatannya hanya sekitar Rp3 juta per bulan.
### **Dampak Ekonomi dan Sosial**
Larangan ini tidak hanya berdampak pada pengemudi ojol, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan. Ojol memainkan peran penting dalam sektor transportasi dan logistik, terutama di perkotaan. Mereka menjadi andalan masyarakat untuk mobilitas dan pengantaran barang. Jika biaya operasional mereka meningkat, tarif layanan ojol kemungkinan besar akan naik. Hal ini akan menambah beban masyarakat, terutama di tengah inflasi yang sudah meningkat sejak awal tahun 2024.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran. Banyak pengemudi ojol yang mungkin memilih berhenti karena tidak mampu menanggung biaya operasional yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ini akan menambah jumlah pekerja informal yang kehilangan mata pencaharian, bertentangan dengan semangat Marhaenisme yang berupaya memberdayakan rakyat kecil.
### **Solusi Berbasis Marhaenisme**
Dari sudut pandang Marhaenisme, kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil harus didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan. Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:
1. **Penyempurnaan Sistem Subsidi:** Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme distribusi subsidi BBM agar tepat sasaran. Penggunaan teknologi seperti aplikasi digital dapat membantu memastikan subsidi hanya dinikmati oleh mereka yang berhak, termasuk pengemudi ojol.
2. **Subsidisasi Langsung untuk Ojol:** Alih-alih melarang, pemerintah bisa memberikan subsidi langsung kepada pengemudi ojol dalam bentuk kartu bahan bakar yang hanya bisa digunakan untuk membeli BBM bersubsidi.
3. **Diversifikasi Energi:** Mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk ojol dengan memberikan insentif seperti subsidi pembelian kendaraan listrik atau pemasangan stasiun pengisian daya gratis.
4. **Dialog dengan Stakeholder:** Melibatkan asosiasi pengemudi ojol dalam perumusan kebijakan. Partisipasi mereka penting untuk memastikan kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
### **Pelajaran dari Kebijakan Sebelumnya**
Kebijakan subsidi BBM bukanlah isu baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno, subsidi energi difokuskan untuk mendukung pembangunan industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor. Prinsip ini sejalan dengan semangat berdikari yang menjadi inti Marhaenisme. Namun, tantangan modern membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, tanpa mengabaikan akar ideologi tersebut.
Negara-negara lain juga bisa menjadi contoh. Di India, pemerintah mengimplementasikan sistem subsidi LPG langsung ke rekening masyarakat miskin. Sementara itu, di Malaysia, pemerintah menetapkan harga BBM bersubsidi berdasarkan pendapatan individu. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa subsidi yang tepat sasaran dapat mengurangi ketimpangan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat kecil.
### **Kesimpulan**
Larangan ojol menggunakan BBM bersubsidi adalah kebijakan yang kurang tepat jika dilihat dari sudut pandang Marhaenisme. Sebagai pekerja keras yang merepresentasikan kaum marhaen modern, pengemudi ojol seharusnya mendapatkan dukungan, bukan justru dibebani. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih inklusif serta adil.
Marhaenisme mengajarkan kita untuk selalu berpihak pada rakyat kecil. Kebijakan publik, termasuk subsidi BBM, harus menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian, semangat Marhaenisme Dan Pancasila tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga pedoman nyata dalam pembangunan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H