Konferensi Perubahan Iklim COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, tahun 2024 menjadi panggung penting dalam upaya global menangani krisis iklim. Laporan terbaru State of the Climate 2024 menegaskan bahwa tahun ini adalah salah satu tahun terpanas dalam sejarah, dengan rata-rata suhu global Januari hingga September mencapai 1,54C di atas era pra-industri. Fenomena El Nio memperburuk situasi dengan meningkatkan frekuensi bencana seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Melihat tantangan tersebut, Marhaenisme---ideologi yang berpijak pada keadilan sosial dan keberpihakan kepada rakyat kecil---dapat memberikan perspektif kritis terhadap arah kebijakan perubahan iklim. Marhaenisme tidak hanya berbicara tentang keadilan sosial, tetapi juga mencakup pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Nilai-nilai ini sangat relevan dalam membahas langkah-langkah yang diambil pada COP29.
Perubahan Iklim Sebagai Isu Keadilan Sosial
Dampak perubahan iklim sangat tidak merata, di mana negara-negara berkembang menjadi korban utama meski kontribusi mereka terhadap emisi global relatif kecil. Data dari COP29 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat bencana terkait iklim mencapai miliaran dolar setiap tahun, dengan sebagian besar kerugian ini dialami oleh masyarakat miskin di negara-negara Global South. Selain itu, bencana iklim seperti banjir di Bangladesh dan kekeringan di Afrika sub-Sahara semakin memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
Dalam semangat Marhaenisme, kebijakan perubahan iklim global tidak boleh hanya berpijak pada teknologi canggih dan kapital besar yang menguntungkan segelintir pihak. Sebaliknya, kebijakan tersebut harus menempatkan rakyat kecil sebagai subjek utama yang dilibatkan dalam solusi. Konsep keadilan iklim (climate justice) yang mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan negara maju dan negara berkembang menjadi relevan untuk diterapkan.
Komitmen dan Tantangan Indonesia
Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi risiko serius akibat kenaikan permukaan laut, degradasi ekosistem, dan bencana hidrometeorologi. Komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contributions (NDC) untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% tanpa bantuan internasional dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 adalah langkah positif. Namun, pelaksanaannya kerap terhambat oleh konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Dalam pendekatan Marhaenisme, kebijakan lingkungan Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada kepentingan makroekonomi tetapi juga memberdayakan rakyat kecil, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Program seperti rehabilitasi hutan mangrove, pemulihan lahan gambut, dan transisi ke energi terbarukan dapat lebih efektif jika melibatkan komunitas lokal secara aktif.
Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mengurangi deforestasi pada tahun 2023, namun ancaman pembukaan lahan baru untuk industri ekstraktif masih tinggi. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih tegas terhadap pelaku industri besar, dengan tetap memberikan dukungan kepada usaha kecil yang ramah lingkungan.
COP29 dan Perjuangan Dana Kerugian dan Kerusakan