Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Marhaenisme dan Kenaikan PPN 12%: Beban Baru bagi Rakyat Kecil

21 November 2024   14:53 Diperbarui: 21 November 2024   15:12 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan pemerintah untuk 2025 memicu banyak perdebatan. Dengan konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar PDB Indonesia, kebijakan ini dikhawatirkan justru melemahkan daya beli rakyat kecil, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperberat kondisi rakyat yang sudah tertekan oleh situasi ekonomi global.

Konteks Kebijakan Kenaikan PPN

Pemerintah menyebut kenaikan ini sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara, mengingat PPN adalah salah satu sumber pajak terbesar. Namun, menurut Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef), kebijakan ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,17% dan konsumsi rumah tangga hingga 0,26%. Sebagai perbandingan, konsumsi rumah tangga di Indonesia saat ini menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB67.

Kenaikan PPN ini berarti barang-barang kebutuhan pokok, yang sangat bergantung pada konsumsi masyarakat bawah, akan menjadi lebih mahal. Dampak domino terhadap biaya produksi dan harga jual barang juga diprediksi akan terjadi, yang pada akhirnya dapat mengurangi permintaan dan memperlambat sektor industri7.

Marhaenisme dan Perspektif Keadilan Sosial

Dalam perspektif marhaenisme, kebijakan ini dapat dianggap bertentangan dengan prinsip keberpihakan pada rakyat kecil. Prinsip marhaenisme yang berakar pada ideologi Soekarno menekankan pentingnya pemerintah melindungi kaum marhaen---rakyat kecil yang bekerja keras tetapi tetap hidup dalam keterbatasan. Kenaikan PPN justru berpotensi memberatkan kelompok ini, yang sudah menghadapi dampak dari inflasi dan lemahnya lapangan kerja akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada tahun-tahun terakhir6.

Rakyat marhaen adalah fondasi ekonomi nasional. Kebijakan yang menggerus daya beli mereka bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak strategis dari sudut pandang ekonomi. Dengan kenaikan ini, mereka yang hidup di garis kemiskinan akan menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi, sementara kontribusi mereka terhadap ekonomi justru semakin terhambat.

Fakta dan Data Ekonomi Terkini

Pada 2023, konsumsi rumah tangga Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,9%, lebih rendah dibandingkan target pemerintah sebesar 5%. Ini menunjukkan kondisi konsumsi yang masih lemah. Bila PPN dinaikkan, daya beli masyarakat diprediksi akan semakin tertekan. Menurut analisis CELIOS, kenaikan ini terjadi di tengah situasi di mana daya beli masyarakat menurun akibat inflasi, yang mencapai rata-rata 5% sepanjang 20237.

Selain itu, simulasi Indef menunjukkan bahwa kenaikan PPN dapat mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 4,83%, jauh dari target 5%. Di sisi lain, pendapatan negara dari pajak memang diharapkan meningkat, tetapi risikonya adalah memperburuk ketimpangan sosial7.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun