Socrates, filsuf Yunani kuno yang hidup sekitar abad ke-5 SM, terkenal karena metode dialektikanya yang tajam dalam mengeksplorasi konsep-konsep filosofis. Meski begitu, pandangan Socrates terhadap demokrasi memancing perdebatan panjang karena ia dianggap memiliki sikap skeptis terhadap bentuk pemerintahan ini. Dalam karya-karya yang direkam oleh muridnya, Plato, terutama dalam Republik, Socrates mengajukan kritik keras terhadap demokrasi, yang di zaman Yunani kuno ditandai oleh kebebasan politik tanpa kontrol yang ketat. Lalu, apakah demokrasi menurut Socrates bisa dianggap sebagai kebaikan atau malah sebagai keburukan?
1. Demokrasi sebagai Pemerintahan oleh Mayoritas
Pandangan Socrates terhadap demokrasi, seperti yang ditunjukkan dalam Republik, sangat dipengaruhi oleh ide bahwa demokrasi memberi kekuasaan kepada mayoritas, tanpa memperhatikan apakah mayoritas tersebut benar-benar memiliki pemahaman atau kebijaksanaan yang cukup untuk membuat keputusan yang baik. Bagi Socrates, kebijaksanaan adalah kunci bagi pemerintahan yang efektif, namun demokrasi Yunani kuno, menurutnya, justru mengabaikan aspek ini. Dalam sistem tersebut, keputusan-keputusan politik dibuat oleh suara mayoritas, bukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan atau kompetensi khusus di bidang pemerintahan.
Kritik ini membawa Socrates pada pandangan bahwa demokrasi cenderung memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang tidak kompeten. Ia menggunakan analogi kapal, di mana ia membandingkan negara dengan kapal besar yang memerlukan kapten yang berpengalaman untuk mengemudikannya. Jika seluruh penumpang kapal diizinkan untuk mengarahkan kapal berdasarkan suara mayoritas, besar kemungkinan kapal tersebut akan tersesat atau tenggelam. Dengan kata lain, Socrates khawatir bahwa demokrasi berisiko mengorbankan kebijaksanaan demi kepentingan suara mayoritas yang mungkin kurang memahami kebaikan bersama.
2. Kebebasan Tanpa Batas sebagai Sumber Kekacauan
Dalam demokrasi, setiap individu bebas untuk menyuarakan pendapatnya dan memilih pemimpinnya. Namun, bagi Socrates, kebebasan ini justru bisa menjadi pedang bermata dua. Ia percaya bahwa kebebasan tanpa batas bisa mengarah pada kekacauan, karena individu yang terlalu bebas cenderung lebih memikirkan kepentingan pribadinya daripada kebaikan bersama. Dengan demikian, kebebasan yang tidak diiringi oleh tanggung jawab moral dan kebijaksanaan bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakstabilan dalam masyarakat.
Socrates menilai bahwa dalam sistem demokrasi, setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan, dan keadaan ini justru membuka peluang bagi orang-orang yang tidak bijaksana atau yang memiliki ambisi pribadi untuk berkuasa. Menurut Socrates, pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang dipegang oleh para ahli atau filsuf yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan, bukan oleh individu-individu yang hanya mengejar kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
3. Bahaya Demagogi
Kekhawatiran Socrates terhadap demokrasi juga mencakup potensi munculnya pemimpin yang disebutnya sebagai demagog -- pemimpin yang pandai memanfaatkan retorika dan emosi masyarakat untuk meraih dukungan, namun tidak memiliki kemampuan atau niat untuk menjalankan pemerintahan dengan bijaksana. Di bawah demokrasi, menurut Socrates, pemimpin yang terpilih adalah mereka yang pandai berbicara dan menggugah emosi publik, bukan mereka yang memiliki visi jangka panjang atau pemahaman mendalam tentang apa yang baik bagi masyarakat.
Demagog ini sering kali terampil dalam menggunakan kata-kata yang menarik perhatian publik, menjanjikan perubahan yang bombastis, dan menggugah semangat rakyat. Sayangnya, janji-janji ini sering kali tidak didasarkan pada kebijaksanaan atau pengetahuan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan semata. Akibatnya, masyarakat cenderung kecewa karena pemimpin semacam ini lebih peduli pada popularitas ketimbang pada keberlanjutan dan kesejahteraan bersama. Dalam pandangan Socrates, inilah salah satu kelemahan fatal dari demokrasi yang memungkinkan pemimpin-pemimpin tanpa kualifikasi moral dan intelektual yang memadai untuk naik ke tampuk kekuasaan.
4. Ideal Socrates: Pemerintahan oleh Filsuf