Dalam dunia politik dan organisasi, perbedaan pandangan adalah hal yang wajar. Tidak terkecuali dalam tubuh organisasi besar seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan aspirasi nasionalis dan marhaenisme. Salah satu momen krusial dalam sejarah organisasi ini adalah Kongres GMNI 2015, yang pada saat itu diwarnai oleh berbagai dinamika dan perbedaan pendapat yang cukup tajam. Namun, setelah bertahun-tahun berlalu, masih ada suara-suara yang mencoba mendelegitimasi hasil kongres tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini pantas dilakukan?
Latar Belakang Kongres GMNI 2015
Kongres GMNI 2015 diadakan di Sikka, NTT dan menjadi salah satu perhelatan penting dalam sejarah organisasi ini. Kongres adalah momen di mana GMNI menentukan arah dan kebijakan organisasi serta memilih kepemimpinan baru yang akan memimpin organisasi selama periode berikutnya. Kongres ini dihadiri oleh berbagai delegasi dari cabang-cabang GMNI di seluruh Indonesia. Selama kongres, muncul berbagai perbedaan pendapat, terutama mengenai arah perjuangan GMNI dan pemilihan kepemimpinan yang dianggap mampu melanjutkan visi marhaenisme yang relevan di tengah arus globalisasi.
Namun, perselisihan internal yang cukup tajam menjadi sorotan dalam kongres ini. Ada beberapa kelompok yang merasa aspirasinya tidak terakomodasi dengan baik dan menganggap bahwa proses kongres tidak berjalan dengan seharusnya. Perbedaan pendapat ini semakin meruncing pasca-kongres dan menimbulkan rasa ketidakpuasan di beberapa kalangan anggota. Inilah yang kemudian melatarbelakangi upaya sebagian kelompok untuk mendelegitimasi hasil kongres tersebut.
Pro dan Kontra Mendelegitimasi Hasil Kongres
Mendelegitimasi hasil kongres suatu organisasi besar seperti GMNI memiliki dampak yang sangat luas dan berpotensi menimbulkan perpecahan. Ada dua pandangan utama terkait hal ini.
Di satu sisi, kelompok yang mendukung upaya delegitimasi berpendapat bahwa hasil kongres 2015 tidak mencerminkan aspirasi seluruh anggota GMNI. Mereka menganggap bahwa proses kongres diwarnai oleh kepentingan tertentu yang merugikan integritas organisasi. Menurut mereka, jika ada kecurangan atau proses yang tidak adil, maka wajar untuk mempertanyakan keabsahan hasil kongres tersebut. Mereka juga mengkhawatirkan bahwa hasil kongres yang dianggap "tidak bersih" ini akan mengarahkan organisasi pada arah yang tidak sesuai dengan prinsip marhaenisme sejati.
Di sisi lain, kelompok yang menolak upaya delegitimasi berpendapat bahwa mempertanyakan hasil kongres 2 atau 3 tahun setelah kongres tersebut selesai adalah tindakan yang tidak produktif dan bahkan destruktif. Mereka berargumen bahwa kongres sudah memiliki mekanisme tersendiri untuk menampung aspirasi setiap cabang dan menghasilkan keputusan yang disepakati bersama. Menurut mereka, keputusan kongres harus dihormati sebagai bentuk penghargaan atas proses demokrasi dalam organisasi. Mendelegitimasi hasil kongres hanya akan menimbulkan perpecahan yang merugikan seluruh anggota GMNI dan mengganggu fokus perjuangan organisasi.
Implikasi Delegitimasi terhadap Organisasi
Upaya untuk mendelegitimasi hasil kongres bukan hanya berdampak pada keabsahan hasil kongres itu sendiri, tetapi juga dapat merusak persatuan dan kesatuan dalam tubuh organisasi. GMNI, yang seharusnya menjadi wadah perjuangan pemikiran nasionalis dan marhaenisme, dapat terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling berseberangan. Ketika fokus organisasi terpecah akibat perdebatan internal, maka perjuangan untuk mengadvokasi hak-hak marhaen akan terabaikan.