Apakah sosialisme pasti berakhir dalam otoritarianisme? Ini adalah perdebatan yang berkembang seiring waktu. Banyak yang percaya bahwa sosialisme membawa kecenderungan otoriter, merujuk pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Korea Utara yang memperlihatkan pola pemerintahan represif. Namun, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor sejarah, politik, dan budaya yang turut berperan dalam membentuk suatu rezim sosialisme apakah akan menjadi otoriter atau demokratis.
Secara teoritis, sosialisme bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter, di mana sumber daya dan kekuasaan ekonomi dikelola secara kolektif untuk mengurangi ketimpangan sosial. Dalam sosialisme, konsep penguasaan ekonomi oleh negara sering kali diutamakan demi mencapai distribusi yang adil, mengurangi ketimpangan, dan menghilangkan kelas sosial.Â
Namun, untuk mewujudkan tujuan ini, negara membutuhkan kendali yang besar terhadap ekonomi dan, sering kali, mekanisme penegakan yang ketat untuk menjaga stabilitas. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa sosialisme cenderung berakhir dalam otoritarianisme, di mana pemerintah memusatkan kekuasaan dan mengurangi ruang untuk kebebasan individu.
Menurut pandangan sosiolog Peter Berger, sosialisme memiliki "kecenderungan inheren" untuk berkembang menuju totalitarianisme karena upayanya menyerap ekonomi ke dalam negara. Berger berpendapat bahwa ketika ekonomi dikendalikan oleh negara, pemerintah memiliki peluang besar untuk mengawasi dan mengendalikan masyarakat dalam skala yang luas, sehingga meningkatkan risiko munculnya rezim otoriter.
 Dalam praktiknya, hal ini terlihat pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan Korea Utara, di mana kontrol terhadap kebebasan individu dan hak politik sangat terbatas. Model seperti ini sering kali mempertahankan kekuasaannya melalui penindasan oposisi, propaganda, dan kontrol ketat atas informasi.
Namun, tidak semua negara sosialis berakhir dalam otoritarianisme. Negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark, menunjukkan contoh yang berbeda dengan mengadopsi sosialisme demokratik. Model sosialisme demokratik ini menggabungkan elemen-elemen sosialisme, seperti program kesejahteraan sosial yang kuat, dengan prinsip-prinsip demokrasi.Â
Negara-negara ini mampu menciptakan masyarakat yang relatif egaliter tanpa mengorbankan kebebasan individu dan hak politik. Keberhasilan sosialisme demokratik di Skandinavia menunjukkan bahwa sosialisme tidak selalu harus berakhir dalam otoritarianisme; sebaliknya, dengan dukungan demokrasi yang kuat, sosialisme bisa berfungsi sebagai sistem yang lebih adil bagi masyarakat.
Faktor lain yang turut menentukan apakah sosialisme akan berakhir dalam otoritarianisme adalah tekanan eksternal dan internal. Banyak negara sosialis yang muncul di era Perang Dingin berada dalam kondisi ekonomi yang lemah dan berada di bawah ancaman geopolitik yang besar, terutama dari negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat.Â
Ancaman eksternal ini sering kali mendorong negara sosialis untuk memperketat kontrol internal dan mengadopsi pendekatan represif dalam rangka mempertahankan stabilitas dan kekuasaan. Uni Soviet, misalnya, mengalami tekanan besar untuk bersaing dengan AS dalam bidang militer dan teknologi. Untuk mempertahankan kekuatan nasionalnya, Uni Soviet mengadopsi langkah-langkah ketat yang berujung pada pembatasan kebebasan politik dan kebebasan berekspresi.
Tiongkok juga menghadapi tantangan yang mirip, terutama pada masa kepemimpinan Mao Zedong. Upaya Mao untuk menjalankan ekonomi terpusat yang dikombinasikan dengan revolusi budaya menghasilkan pemusatan kekuasaan yang ekstrim dan kontrol ketat terhadap masyarakat. Rezim Mao mengontrol informasi, melarang kritik, dan menekan oposisi untuk menjaga stabilitas ideologi negara.Â