Di tengah hiruk-pikuk kota, pengamen hadir sebagai sosok yang kadang luput dari perhatian banyak orang. Mereka menyusuri jalan-jalan, menyanyi atau memainkan musik sederhana untuk mendapatkan sejumlah uang dari mereka yang merasa terhibur atau tergerak hatinya. Kehadiran pengamen di jalanan kerap dianggap sebagai bagian dari wajah kemiskinan urban yang sulit diatasi, tetapi, jika ditilik lebih dalam, apakah pengamen dapat dikategorikan sebagai Marhaen?
Pertama-tama, kita perlu memahami siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Marhaen. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno, yang menciptakan istilah "Marhaen" untuk menggambarkan rakyat jelata yang hidup dalam keterbatasan, tetapi memiliki tanah, alat, dan tenaga untuk bekerja mandiri, meskipun hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Marhaenisme adalah ideologi yang lahir dari semangat pembelaan terhadap rakyat kecil yang tertindas oleh sistem yang kurang adil. Dalam konteks ini, seorang Marhaen adalah simbol kemandirian, keberanian, serta ketahanan hidup di tengah ketidakadilan dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Seiring waktu, pengertian Marhaen diperluas menjadi segala kelompok masyarakat yang tertindas dan marginal, khususnya mereka yang menjadi korban ketidakadilan ekonomi, politik, dan sosial. Pengamen, dalam hal ini, seringkali berada di posisi yang sulit. Mereka hidup tanpa kepastian penghasilan, tanpa jaminan kesehatan, serta tanpa perlindungan hukum yang layak. Kebanyakan pengamen mengandalkan alat musik sederhana seperti gitar atau kendang yang mereka miliki, dan menggunakannya sebagai alat untuk bertahan hidup.
Dari sudut pandang ini, pengamen memiliki karakteristik Marhaenisme. Mereka, seperti Marhaen dalam definisi Bung Karno, adalah orang-orang yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa menjadi beban bagi orang lain. Meskipun terpinggirkan, pengamen tetap mandiri dan tidak bergantung pada belas kasih orang lain. Mereka berjuang untuk mendapatkan penghasilan dari hasil keringat sendiri, bahkan dalam kondisi yang serba terbatas.
Di sisi lain, kehidupan seorang pengamen tidak selalu mudah dan bebas dari stereotip. Di beberapa tempat, pengamen dianggap sebagai pengganggu atau bahkan kriminal, terutama karena sebagian dari mereka tidak memiliki izin atau dianggap mengotori estetika kota. Stigma ini seringkali menyebabkan mereka ditangkap atau dilarang untuk mengamen di tempat-tempat tertentu. Namun, stigma ini sebenarnya justru mencerminkan ketidakadilan yang mereka hadapi, yang sesuai dengan realitas kaum Marhaen yang sering kali dipinggirkan dan diabaikan.
Lebih jauh lagi, dalam masyarakat modern, pengamen seringkali tidak memiliki akses pada layanan dasar yang seharusnya bisa dinikmati oleh warga negara, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan akses perumahan yang layak. Banyak dari mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena kurangnya akses ke pendidikan dan pekerjaan yang layak. Mereka harus mencari nafkah di jalanan tanpa adanya jaminan sosial atau kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana sistem ekonomi dan sosial seringkali tidak berpihak kepada mereka, sebuah ketidakadilan yang juga dialami oleh Marhaen dalam pengertian Bung Karno.
Namun, kita juga harus memahami bahwa tidak semua pengamen memilih jalan ini karena keterpaksaan. Ada juga yang menjadi pengamen karena dorongan jiwa seni atau hasrat untuk berkarya, meskipun mereka paham bahwa jalan ini tidak akan menghasilkan banyak uang. Mereka melakukan apa yang mereka cintai meski berada di posisi yang rentan secara finansial. Kebebasan untuk mengekspresikan seni di ruang publik, meskipun hanya menghasilkan sedikit uang, adalah bentuk lain dari kemandirian dan kejujuran terhadap diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa pengamen juga memiliki sisi heroik sebagai kaum yang mandiri, sebagaimana Marhaen yang tidak menyerah pada keadaan.
Dalam kaitannya dengan ideologi Marhaenisme, pengamen juga sering kali tidak memiliki perwakilan atau suara dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik. Suara mereka nyaris tidak terdengar, apalagi diperhatikan oleh pemegang kebijakan. Mereka hidup dalam ketidakpastian, terjebak dalam lingkaran kebijakan yang cenderung menguntungkan kaum elit dan meninggalkan rakyat kecil. Mereka seolah terpinggirkan dari sistem yang seharusnya melindungi dan memperhatikan kebutuhan mereka. Inilah yang membuat mereka pantas dikategorikan sebagai bagian dari kaum Marhaen, yakni mereka yang harus bekerja keras melawan ketidakadilan sistemik.
Namun, ada satu aspek penting yang membedakan pengamen dari Marhaen dalam pandangan tradisional Bung Karno. Marhaen, dalam gambaran Bung Karno, adalah sosok yang memiliki alat produksi, seperti tanah atau alat pertanian. Pengamen, meskipun mandiri, tidak selalu memiliki alat produksi sendiri. Mereka tidak selalu memiliki akses ke modal atau sumber daya yang cukup untuk menciptakan penghidupan yang layak. Mereka bergantung pada belas kasih publik untuk mendapatkan penghasilan. Keterbatasan ini membuat mereka rentan terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang lebih besar, berbeda dengan sosok Marhaen yang memiliki tanah sebagai aset dasar untuk bertahan hidup.
Meski demikian, dalam konteks Marhaenisme yang lebih luas, pengamen bisa dikategorikan sebagai Marhaen modern. Mereka adalah rakyat kecil yang berjuang di tengah kerasnya kehidupan kota, tanpa dukungan yang memadai dari negara. Mereka adalah simbol ketahanan dan keberanian, yang meskipun dihadapkan pada stigma dan ketidakpastian, tetap bertahan dengan usaha sendiri. Mereka adalah sosok yang melambangkan semangat mandiri, meski kadang dianggap tidak layak dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Pada akhirnya, pengamen adalah refleksi dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Mereka adalah bagian dari Marhaen yang harus kita perhatikan dan lindungi, bukan hanya karena mereka adalah bagian dari masyarakat, tetapi juga karena mereka adalah simbol perjuangan rakyat kecil. Dalam mengapresiasi perjuangan mereka, kita sekaligus melestarikan semangat Marhaenisme yang sejati: keberpihakan kepada rakyat kecil, yang meski terpinggirkan, tetap berjuang untuk bertahan hidup dengan harga diri dan kemandirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H