Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024 menjadi sorotan dunia, terutama terkait dampaknya terhadap isu Palestina. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah, khususnya dalam mendukung atau menekan Israel dalam konflik dengan Palestina, sangat mempengaruhi pandangan konstituen AS, termasuk komunitas Muslim, aktivis pro-Palestina, dan simpatisan hak asasi manusia. Saat ini, dengan Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik sebagai kandidat terdepan, perdebatan mengenai bagaimana pendekatan masing-masing calon akan mempengaruhi Palestina dan Timur Tengah terus berkembang.
Sejak awal konflik terbaru di Gaza, kebijakan pemerintahan Biden yang pro-Israel memicu kekecewaan di kalangan komunitas Muslim di Amerika Serikat. Menurut jajak pendapat dari organisasi Muslim Advocates, banyak dari mereka menganggap Biden tidak responsif terhadap penderitaan warga Palestina. Kekecewaan ini meluas di negara bagian penting seperti Michigan, yang memiliki populasi Muslim yang cukup besar dan berpotensi menentukan hasil pemilu. Data menunjukkan bahwa jumlah pemilih Muslim yang mempertimbangkan untuk memilih kandidat ketiga, seperti dari Partai Hijau, Jill Stein, meningkat sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Biden.
Bagi banyak pendukung Palestina di Amerika Serikat, posisi Biden dalam mendukung Israel dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip hak asasi manusia. Sikap pemerintahan Biden dalam beberapa bulan terakhir lebih terlihat pada upaya mempertahankan status quo dengan Israel, daripada melakukan intervensi yang berarti dalam konflik yang terjadi di Gaza. Dalam beberapa kesempatan, Biden menyatakan dukungannya untuk "hak Israel untuk membela diri," tanpa secara langsung menyoroti penderitaan warga sipil Palestina yang terkena dampak serangan udara di Gaza. Pendekatan ini dianggap bertentangan dengan harapan banyak pemilih pro-Palestina yang menginginkan kebijakan yang lebih adil.
Sementara itu, kebijakan Donald Trump selama masa kepresidenannya juga cenderung pro-Israel. Kebijakan yang paling kontroversial dari Trump adalah pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 2017, yang secara efektif mengabaikan perjanjian internasional yang menyatakan bahwa status Yerusalem harus diputuskan melalui negosiasi langsung antara Israel dan Palestina. Selain itu, Trump juga memotong bantuan finansial kepada Otoritas Palestina, yang kemudian berdampak besar pada kemampuan Palestina untuk menyediakan layanan publik bagi rakyatnya. Kebijakan Trump ini membuat dirinya lebih diterima di kalangan konservatif dan pendukung kuat Israel, namun ia juga mengalienasi pemilih pro-Palestina dan komunitas Muslim di AS.
Jika Trump kembali berkuasa, kemungkinan besar kebijakannya akan memperkuat hubungan AS dengan sayap kanan Israel, terutama pemerintahan Netanyahu. Beberapa analis percaya bahwa Trump akan melanjutkan dukungannya terhadap pembangunan permukiman di Tepi Barat dan menolak gagasan tentang perbatasan 1967, yang menjadi basis utama solusi dua negara. Kebijakan seperti ini akan semakin mempersulit peluang bagi Palestina untuk memperoleh kedaulatan yang nyata di wilayah mereka sendiri. Meskipun demikian, beberapa pendukung Trump berpendapat bahwa kebijakannya lebih tegas dan memberikan kepastian dalam hubungan AS-Israel.
Sebaliknya, pemerintahan Biden cenderung mempertahankan pendekatan yang lebih diplomatis, meskipun juga tidak memberikan dukungan penuh kepada Palestina. Salah satu perbedaan utama antara Biden dan Trump adalah pendekatan Biden yang lebih terbuka terhadap perundingan dengan Iran mengenai program nuklirnya, yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di Timur Tengah, termasuk dalam konteks dukungan terhadap Palestina. Biden juga telah mengisyaratkan keinginannya untuk menjaga komitmen AS terhadap solusi dua negara, walaupun hal ini belum terlihat dalam langkah-langkah kebijakan yang nyata. Kebijakan Biden terhadap Timur Tengah, khususnya terkait Palestina, dapat diartikan sebagai upaya untuk menyeimbangkan kepentingan AS dengan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut, sambil mencoba meredam kritik dari komunitas internasional.
Dinamika ini menciptakan tantangan politik yang kompleks bagi pemilih Muslim dan pendukung Palestina di Amerika Serikat. Komunitas ini telah memberikan dukungan besar kepada Partai Demokrat dalam pemilu sebelumnya, namun kekecewaan mereka terhadap Biden dapat mengubah sikap mereka. Beberapa kelompok telah meluncurkan kampanye "Uncommitted National Movement," terutama di Michigan, sebagai cara untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan luar negeri Biden. Jika Demokrat gagal merespons dengan kebijakan yang lebih peka terhadap isu Palestina, mereka berisiko kehilangan suara dari basis pemilih ini di negara-negara bagian kunci yang bisa menentukan hasil pemilu.
Selain faktor-faktor di atas, persaingan antara AS dan China di Timur Tengah juga berpengaruh terhadap kebijakan AS terhadap Palestina. China telah meningkatkan dukungannya terhadap Palestina dalam forum internasional, dan upaya China untuk membangun pengaruhnya di kawasan ini mungkin menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh AS. Jika AS terlalu condong ke arah Israel, hal ini dapat memberikan ruang bagi China untuk memperluas pengaruhnya di antara negara-negara Arab dan meningkatkan dukungannya terhadap Palestina. Situasi ini dapat memaksa Amerika Serikat untuk mengevaluasi kembali pendekatannya terhadap konflik Israel-Palestina jika mereka ingin mempertahankan dominasinya di kawasan.
Secara keseluruhan, hasil pemilu 2024 akan memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Jika Kamala Harris terpilih, kebijakan luar negeri AS mungkin akan tetap stabil dengan fokus pada diplomasi, meskipun masih cenderung pro-Israel. Di sisi lain, jika Trump kembali berkuasa, kebijakan luar negeri AS kemungkinan akan lebih agresif dan sepihak, terutama mendukung Israel tanpa mempertimbangkan implikasinya bagi Palestina. Pemilih pro-Palestina di AS kini berada pada posisi sulit, di mana mereka harus memutuskan antara mempertahankan dukungan kepada Partai Demokrat yang dianggap tidak sepenuhnya mendukung aspirasi mereka, atau mencari alternatif lain dengan risiko menguntungkan kandidat yang lebih pro-Israel.
Kedua kandidat, baik Kamala maupun Trump, menawarkan pendekatan yang berbeda terhadap isu Palestina, namun keduanya memiliki keterbatasan dalam memberikan solusi yang memadai bagi Palestina. Dengan semakin kuatnya pengaruh isu ini di kalangan pemilih AS, kebijakan terhadap Palestina mungkin akan tetap menjadi perdebatan penting dalam pemilu AS ke depan, dan hasil pemilu 2024 akan menjadi penentu arah hubungan AS-Palestina selama empat tahun mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H