Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

UU Pemilu dan UU Pilkada Disatukan, Bagaimana Kekurangan dan Kelebihannya?

4 November 2024   10:02 Diperbarui: 4 November 2024   10:07 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://batamtoday.com/batam/read/196020/Srikandi-Turut-Sukseskan-Sosialisasi-Penyesuaian-Tarif-PLN-Batam

Menggabungkan Undang-Undang (UU) Pemilu dan Pilkada menjadi satu undang-undang adalah gagasan yang menarik tetapi juga penuh tantangan. Usulan ini mencuat karena adanya kesamaan antara pemilu legislatif/presiden dengan pilkada, baik dari sisi penyelenggara maupun persyaratan untuk peserta. Pemilu dan pilkada sama-sama dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), melibatkan partai politik sebagai peserta, serta memiliki tujuan serupa untuk menjaga hak politik warga negara. Berdasarkan fakta tersebut, muncul anggapan bahwa menyatukan UU Pemilu dan UU Pilkada dapat membawa sejumlah keuntungan dari segi penyederhanaan proses dan regulasi.

Kelebihan Penyatuan UU Pemilu dan Pilkada

1. Efisiensi Administrasi

Penyatuan UU Pemilu dan Pilkada diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, baik dari segi pengelolaan maupun sumber daya. Dengan hanya satu payung hukum, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menerapkan prosedur yang seragam dan efisien, sehingga mengurangi beban administratif. Efisiensi ini juga akan mengurangi biaya negara, mengingat pelaksanaan pemilu membutuhkan anggaran besar. Pada 2019, misalnya, Indonesia mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 25 triliun untuk pemilu nasional, yang mencakup berbagai proses pemilihan di tingkat pusat dan daerah. Dengan menyatukan aturan ini, potensi penghematan anggaran bisa terjadi karena koordinasi yang lebih sederhana.

2. Penyederhanaan Regulasi

Regulasi yang lebih sederhana dan seragam dapat mengurangi potensi kebingungan di lapangan. Saat ini, aturan pemilu dan pilkada terpisah dan mengatur aspek yang kadang saling tumpang tindih. Dengan satu UU yang mengatur pemilu dan pilkada, proses sosialisasi bagi penyelenggara, peserta, serta pemilih bisa dilakukan lebih efektif. KPU dapat menyusun standar teknis yang sama untuk berbagai jenis pemilihan, sehingga meminimalisir risiko interpretasi yang berbeda di setiap daerah atau pemilihan.

3. Konsistensi Perlindungan Hak Pemilih

Melalui penyatuan UU, pemerintah dapat lebih fokus pada perlindungan hak pilih masyarakat, termasuk kelompok rentan. Keseragaman aturan berarti standar perlindungan hak pemilih di setiap daerah menjadi sama, misalnya dalam hal akses bagi penyandang disabilitas atau pemilih di daerah terpencil. Di sisi lain, regulasi yang seragam juga memperjelas prosedur dalam menyikapi pelanggaran hak pilih yang mungkin terjadi.

4. Percepatan Implementasi Teknologi Pemilu

Teknologi seperti e-voting atau e-rekapitulasi semakin menjadi perbincangan dalam pemilu Indonesia, terlebih untuk efisiensi dan akurasi penghitungan suara. Dengan UU terpadu, pengembangan dan implementasi teknologi ini dapat dilakukan lebih mudah karena KPU tidak perlu menyesuaikan aturan untuk dua UU yang berbeda. Penerapan teknologi dalam pemilu yang lebih modern akan membantu mempercepat perolehan hasil serta menurunkan risiko kecurangan.

Kekurangan Penyatuan UU Pemilu dan Pilkada

1. Kompleksitas dalam Pelaksanaan

Menyatukan pemilu legislatif, presiden, dan pilkada ke dalam satu UU bisa menimbulkan tantangan dalam pelaksanaannya. Pemilu serentak 2019, misalnya, menunjukkan bahwa penyelenggara, pemilih, serta pengawas pemilu mengalami kebingungan dan kelelahan karena banyaknya kotak suara yang harus dikelola dalam satu hari. Jika pemilu dan pilkada dilakukan bersamaan, maka akan semakin rumit karena perbedaan wilayah pemilihan, jumlah calon, serta kompleksitas penghitungan suara yang berbeda di setiap level. Hal ini dikhawatirkan akan menambah beban penyelenggara dan berpotensi menurunkan kualitas pemilu.

2. Risiko Pusatnya Kekuatan Politik di Nasional

Salah satu tujuan pilkada adalah untuk memberikan kesempatan kepada daerah memilih pemimpin sesuai kebutuhan lokal. Dengan adanya UU yang disatukan, muncul kekhawatiran bahwa kepentingan politik nasional akan lebih dominan dan menutupi aspirasi lokal. Di beberapa kasus, partai politik di tingkat pusat memiliki agenda yang berbeda dengan daerah, sehingga penyatuan UU ini bisa mengurangi independensi daerah dalam memilih pemimpin yang sesuai konteksnya.

3. Potensi Menambah Beban Birokrasi

Meski tujuan penyatuan UU ini adalah penyederhanaan, dalam praktiknya justru bisa menambah beban bagi KPU dan pengawas pemilu lainnya. Dengan satu undang-undang, diperlukan koordinasi lebih intensif antara lembaga pusat dan daerah agar pelaksanaan di tingkat lokal tetap sesuai dengan standar nasional. Hal ini berpotensi memperpanjang proses birokrasi, yang berujung pada penundaan dan kendala teknis dalam persiapan pemilu di daerah.

4. Kurangnya Fleksibilitas Aturan Lokal

Dengan penyatuan UU, aturan yang berlaku akan lebih seragam, namun bisa mengurangi fleksibilitas penyesuaian aturan di daerah. Padahal, setiap daerah memiliki karakteristik pemilih yang berbeda, seperti tingkat pendidikan, akses informasi, dan kondisi geografis. Aturan yang terlalu seragam akan sulit memenuhi kebutuhan spesifik di tiap daerah, dan dapat menyebabkan kendala teknis atau bahkan ketidakpuasan dari pihak lokal.

Fakta dan Data Terkait

Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilu serentak 2019 yang mencakup pemilihan presiden, DPR, DPD, dan DPRD diakui memiliki sejumlah tantangan serius, terutama dari segi beban kerja yang berat bagi penyelenggara dan pemilih. Hal ini menyebabkan munculnya usulan agar pemilu disederhanakan atau dijadwalkan secara terpisah. Untuk pilkada, Kementerian Keuangan mencatat bahwa penyelenggaraan serentak pada 2020 membutuhkan dana hampir Lebih Dari Rp 15 triliun. Dengan menyatukan UU, total anggaran untuk pemilu dan pilkada dapat ditekan, namun masih perlu perhitungan yang cermat agar efisiensi ini tidak mengorbankan kualitas pelaksanaan.

Selain itu, survei dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap pilkada lebih tinggi dibanding pemilu legislatif, karena mereka merasa hasil pilkada lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi catatan penting, karena penyatuan UU seharusnya tidak mengabaikan aspirasi warga untuk memilih pemimpin daerah sesuai dengan kepentingan lokal.

Kesimpulan

Penyatuan UU Pemilu dan Pilkada menawarkan peluang besar dalam hal efisiensi anggaran, penyederhanaan aturan, serta percepatan adopsi teknologi. Namun, tantangan utama dari penyatuan ini adalah memastikan prosesnya tetap efektif dan sesuai kebutuhan lokal. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut untuk menyeimbangkan antara efisiensi dengan kualitas dan representasi dalam pemilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun