Sejak disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas lembaga antirasuah tersebut dalam memberantas korupsi. Revisi UU ini dianggap melemahkan peran KPK dengan mengurangi independensinya, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan semakin berkembangnya korupsi di kalangan elite. Dari perspektif Marhaenisme---ideologi yang diperjuangkan oleh Soekarno untuk mendukung hak-hak kaum rakyat kecil atau Marhaen---revisi ini dinilai bertentangan dengan semangat keadilan sosial, terutama bagi mereka yang sering menjadi korban ketidakadilan akibat praktik korupsi.
Marhaenisme mengajarkan bahwa negara harus melindungi dan memberdayakan rakyat kecil agar terlepas dari cengkeraman ketidakadilan. Ideologi ini berfokus pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Korupsi yang menggerogoti anggaran negara jelas merugikan rakyat kecil, mengurangi kualitas layanan publik, dan memperdalam kesenjangan ekonomi. Dengan demikian, perubahan pada UU KPK, yang seharusnya memperkuat upaya pemberantasan korupsi, justru dipandang sebagai langkah mundur yang mengancam terciptanya pemerintahan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Revisi yang Kontroversial dan Dampaknya bagi KPK
Beberapa poin utama dalam revisi UU KPK 2019 yang menuai pro dan kontra adalah pengawasan ketat oleh Dewan Pengawas dan adanya mekanisme izin penyadapan. Sebelumnya, KPK dapat melakukan penyadapan secara independen tanpa memerlukan persetujuan dari pihak eksternal. Namun, dengan adanya revisi ini, KPK kini harus memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan. Langkah ini dinilai dapat memperlambat proses investigasi, terutama dalam kasus-kasus yang membutuhkan tindakan cepat. Hal ini berisiko membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi kurang efektif, karena kecepatan dan kejutan adalah elemen penting dalam menangkap pelaku korupsi, terutama dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Selain itu, proses pemilihan pimpinan KPK kini dilakukan oleh Presiden dan DPR melalui Dewan Pengawas. Kritikus melihat perubahan ini sebagai upaya untuk melemahkan independensi KPK, yang selama ini dikenal sebagai lembaga penegak hukum yang relatif bebas dari intervensi politik. Penurunan independensi ini juga telah menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Berdasarkan survei terbaru, banyak warga yang meragukan efektivitas lembaga ini dalam mengusut kasus-kasus korupsi besar, yang sering kali melibatkan elite politik.
Dampak Langsung terhadap Pemberantasan Korupsi
Sejak UU KPK 2019 diberlakukan, data menunjukkan penurunan jumlah kasus yang berhasil diusut oleh KPK, khususnya dalam Operasi Tangkap Tangan. Penurunan ini mengisyaratkan adanya pelemahan dalam kinerja KPK yang sebelumnya dikenal gigih dalam memberantas kasus-kasus korupsi besar. Para aktivis dan pengamat antikorupsi mencatat bahwa perubahan mekanisme kerja KPK yang diatur dalam UU baru ini telah membatasi ruang gerak lembaga tersebut. Secara tidak langsung, kondisi ini menguntungkan beberapa pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri tanpa pengawasan yang ketat.
Kondisi ini sangat merugikan rakyat kecil, yang sering kali menjadi korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak efisien akibat praktik korupsi. Contohnya adalah dana-dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, justru banyak terserap oleh korupsi. Akibatnya, kualitas hidup rakyat semakin memburuk. Dari sudut pandang Marhaenisme, lemahnya pengawasan terhadap tindak korupsi berarti hak-hak rakyat kecil dirampas demi kepentingan segelintir orang.
Marhaenisme dan Tuntutan Terhadap KPK yang Kuat
Dalam konteks ideologi Marhaenisme, perlindungan terhadap hak rakyat kecil merupakan esensi dari pemerintahan yang adil. Revisi UU KPK ini dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Marhaenisme, karena mengurangi kekuatan KPK dalam menindak pelaku korupsi, yang sebagian besar berasal dari golongan elite. Marhaenisme memandang korupsi sebagai salah satu penyebab utama ketimpangan ekonomi, yang merugikan rakyat kecil secara langsung. Dalam hal ini, perlawanan terhadap revisi UU KPK 2019 menjadi sebuah langkah penting untuk mengembalikan semangat Marhaenisme dalam pemberantasan korupsi dan menuntut pemenuhan hak-hak rakyat kecil.