Omnibus Law, terutama Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), adalah regulasi yang kompleks dan kontroversial. Ditetapkan dengan tujuan menarik investasi asing dan menciptakan lapangan kerja, UU Ciptaker menimbulkan kekhawatiran dari sudut pandang keadilan sosial, terutama di kalangan pendukung Marhaenisme yang memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Ideologi Marhaenisme, yang dicanangkan oleh Soekarno, menekankan perjuangan untuk melindungi kaum marhaen -- rakyat kecil yang sering kali menjadi korban ketidakadilan ekonomi dan sosial. Dengan menganalisis dampak dari UU Ciptaker, kita dapat melihat ketidakseimbangan yang ada dan sejauh mana UU ini memenuhi harapan rakyat kecil.
Landasan Marhaenisme dalam Keadilan Sosial
Marhaenisme, berakar pada pemikiran Soekarno, mengacu pada perjuangan untuk mengangkat derajat rakyat kecil agar mampu hidup layak dan merdeka dalam hal ekonomi. Dalam konteks ini, "marhaen" bukan hanya identitas kelas sosial, tetapi juga representasi dari petani, buruh, dan rakyat kecil lainnya yang bekerja keras tetapi terpinggirkan oleh sistem ekonomi yang tidak adil. Marhaenisme menekankan pentingnya pemerataan ekonomi yang menjunjung nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat, di mana kepentingan rakyat kecil menjadi prioritas dalam pembuatan kebijakan.
Omnibus Law dan Isu Keadilan Ekonomi
Omnibus Law, dengan fokus pada deregulasi dan efisiensi, bertujuan untuk menarik investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, banyak pihak menilai bahwa UU Ciptaker lebih menguntungkan pemilik modal besar daripada rakyat kecil. Salah satu isu utama adalah fleksibilitas ketenagakerjaan yang dianggap merugikan buruh. Dalam UU Ciptaker, ketentuan mengenai waktu kerja, hak pesangon, dan status pekerja kontrak dibuat lebih longgar, yang dinilai mengurangi keamanan kerja bagi buruh.
Data menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan data Gini Ratio yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, ketimpangan di Indonesia berada pada angka 0,381 -- angka yang masih menunjukkan ketimpangan cukup tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, distribusi kekayaan masih tidak merata. Dalam kerangka Marhaenisme, UU yang memperbesar keuntungan korporasi tanpa perlindungan yang cukup bagi pekerja dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.
Dampak UU Ciptaker pada Petani dan Pekerja Informal
Petani dan pekerja sektor informal juga terkena dampak Omnibus Law. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah soal akses terhadap lahan dan hak milik tanah. UU Ciptaker mempermudah prosedur perizinan bagi investor untuk menguasai lahan, yang meningkatkan risiko penggusuran bagi petani kecil dan masyarakat adat. Fakta ini membuat kaum Marhaenis khawatir akan semakin sempitnya ruang bagi petani untuk mempertahankan hak atas tanah mereka, yang merupakan sumber kehidupan mereka.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kasus konflik agraria pada tahun 2022 mencapai angka lebih dari 200 kasus, dengan ribuan hektar lahan bersengketa antara masyarakat dan perusahaan. Dengan Omnibus Law yang memperlonggar aturan kepemilikan lahan, kondisi ini berpotensi semakin parah dan menimbulkan ketimpangan agraria yang semakin dalam, jauh dari cita-cita Marhaenisme yang menginginkan rakyat kecil memiliki hak atas alat produksi.
Omnibus Law dan Perlindungan Sosial
Dalam hal perlindungan sosial, UU Ciptaker juga mendapatkan kritik. Meskipun pemerintah berupaya menjamin jaminan sosial bagi pekerja, implementasinya di lapangan seringkali menemui kendala. Pengurangan hak pesangon, peningkatan status kerja kontrak, dan kebebasan bagi perusahaan untuk menentukan mekanisme pengupahan yang fleksibel bisa berdampak pada menurunnya kesejahteraan pekerja dalam jangka panjang. Kondisi ini bertolak belakang dengan prinsip Marhaenisme yang memperjuangkan kehidupan layak bagi seluruh rakyat.
Sebagai perbandingan, banyak negara yang menerapkan model regulasi yang lebih melindungi pekerja. Di beberapa negara Eropa, misalnya, konsep "job security" menjadi elemen penting dalam undang-undang ketenagakerjaan, yang menjamin hak pesangon serta keamanan kerja bagi pekerja. Langkah ini dimaksudkan agar pertumbuhan ekonomi tetap inklusif dan tidak hanya dinikmati oleh segelintir golongan.
Alternatif Solusi dari Perspektif Marhaenisme
Dari sudut pandang Marhaenis, penting untuk menciptakan kebijakan yang mampu menyeimbangkan kepentingan pemodal dengan kebutuhan rakyat kecil. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat pengawasan dan penegakan regulasi ketenagakerjaan, sehingga perusahaan tidak semena-mena dalam memperlakukan buruh. Selain itu, pemberdayaan koperasi serta penguatan sektor agraria bagi petani kecil dapat menjadi solusi dalam memperkuat posisi ekonomi kaum marhaen.
Koperasi, yang diusung oleh Soekarno sebagai salah satu bentuk ekonomi kerakyatan, dapat dijadikan alat untuk memandirikan rakyat kecil dalam menghadapi persaingan ekonomi global. Dengan memperkuat koperasi, rakyat dapat bersatu dalam mengelola alat produksi dan hasilnya, sehingga tidak bergantung pada modal besar yang cenderung mengeksploitasi.
Memperkuat Nilai Marhaenisme di Era Modern
Marhaenisme, dalam konteks saat ini, perlu dihidupkan kembali sebagai ideologi yang melindungi kaum kecil di tengah derasnya arus kapitalisme global. UU Ciptaker mungkin menawarkan beberapa keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tidak mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil. Pemimpin yang berjiwa Marhaenis perlu terlibat dalam mengawasi implementasi undang-undang ini, agar tetap berpegang pada prinsip keadilan sosial dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Penutup
Omnibus Law adalah fenomena yang kompleks dan membutuhkan pengawasan ketat dari masyarakat sipil, terutama kaum Marhaen dan Marhaenis. Di tengah gelombang kapitalisme global, nilai-nilai Marhaenisme yang menekankan pada kesejahteraan rakyat kecil perlu dijadikan pegangan dalam menyusun kebijakan ekonomi. Apakah Omnibus Law mampu menjawab kebutuhan rakyat kecil atau justru menjauhkan mereka dari cita-cita keadilan sosial? Pertanyaan ini hanya akan terjawab jika kita mampu secara kritis mengevaluasi dampaknya secara berkelanjutan.
Dengan semangat Marhaenisme, perjuangan untuk keadilan ekonomi tidak boleh berhenti, terutama di tengah tantangan besar seperti UU Ciptaker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H