Dalam konteks pembangunan bangsa, Marhaenisme, yang diusung oleh Bung Karno, selalu menekankan pada kesejahteraan rakyat kecil, terutama kaum marhaen yang digambarkan sebagai rakyat jelata yang hidup dari kerja keras mereka sendiri. Prinsip-prinsip Marhaenisme menempatkan rakyat kecil sebagai pusat dari kebijakan sosial, ekonomi, dan politik negara. Di era modern, semangat ini relevan dalam berbagai kebijakan publik, salah satunya adalah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dengan adanya program Tapera, muncul pertanyaan penting: apakah kebijakan ini sejalan dengan semangat Marhaenisme, atau justru berpotensi mengaburkan tujuan sejati kesejahteraan rakyat?
Memahami Marhaenisme
Marhaenisme adalah paham ideologi yang dicetuskan oleh Soekarno dan berakar pada keinginan untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Marhaenisme berangkat dari pengamatan Soekarno terhadap Marhaen, seorang petani kecil di Bandung yang memiliki tanah dan alat-alat produksi sendiri namun tetap hidup dalam kemiskinan. Soekarno menggunakan figur Marhaen ini untuk menggambarkan rakyat Indonesia yang memiliki sumber daya, tetapi tidak cukup untuk hidup layak. Dalam Marhaenisme, kesejahteraan rakyat tidak hanya diukur dari kepemilikan alat produksi, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk hidup mandiri, adil, dan sejahtera.
Prinsip Marhaenisme mengedepankan kemandirian ekonomi rakyat kecil dan menolak eksploitasi oleh kapitalisme atau feodalisme. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan, merupakan landasan penting dalam Marhaenisme.
Tapera: Upaya Pemerintah untuk Menyediakan Perumahan Layak
Tapera, atau Tabungan Perumahan Rakyat, merupakan program yang dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang diluncurkan pada tahun 2020 sebagai upaya pemerintah Indonesia dalam membantu masyarakat memiliki rumah yang layak. Sistem Tapera mengharuskan pekerja, baik ASN (Aparatur Sipil Negara), pekerja BUMN, hingga pekerja swasta, untuk menabung sekitar 3% dari upah mereka sebagai kontribusi untuk program ini. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk memberikan kredit perumahan bersubsidi kepada para pekerja yang memenuhi syarat.
Tujuan utama Tapera adalah untuk memastikan setiap pekerja memiliki akses terhadap rumah yang layak dengan mekanisme pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau. Tapera diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang bagi masalah perumahan di Indonesia, di mana jutaan orang, terutama dari kelas pekerja dan rakyat kecil, masih belum memiliki rumah.
Marhaenisme dan Tapera: Analisis Kritis
Dari sudut pandang Marhaenisme, ide dasar dari Tapera---yakni memberikan akses perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah---memiliki keselarasan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akses perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin oleh negara, terutama bagi kaum marhaen yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membeli rumah melalui mekanisme pasar bebas yang kapitalistik.
Namun, jika kita menelaah lebih dalam, ada beberapa catatan kritis terhadap program ini. Pertama, kewajiban iuran sebesar 3% dari gaji pekerja mungkin tidak signifikan bagi kalangan berpenghasilan tinggi, namun bagi pekerja berpenghasilan rendah, ini bisa menjadi beban tambahan di tengah kebutuhan hidup yang mendesak. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2023, upah minimum di Jakarta adalah Rp4.901.798, sementara di beberapa daerah seperti Yogyakarta, upah minimum berada pada angka Rp2.005.000. Iuran Tapera sebesar 3% dari angka ini bisa mengurangi daya beli pekerja dengan penghasilan rendah, yang sebenarnya menjadi target utama dari program ini.