Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Marcus Aurelius: Filsafat Kebahagiaan

15 Oktober 2024   01:57 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:11 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.biography.com/political-figures/marcus-aurelius

Marcus Aurelius, kaisar Romawi dari tahun 161 hingga 180 M, tidak hanya dikenang sebagai seorang pemimpin militer dan politik, tetapi juga sebagai salah satu filsuf Stoik terbesar sepanjang sejarah. Karyanya yang paling terkenal, Meditations, adalah refleksi pribadi yang berisi gagasan-gagasan tentang kehidupan, kebajikan, dan kebahagiaan. Filsafat yang dia anut---Stoikisme---memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana mencapai kebahagiaan yang sejati, yang tidak bergantung pada kemewahan atau kekuasaan, melainkan pada pengendalian diri, kebijaksanaan, dan keselarasan dengan alam.

Stoikisme dan Kebahagiaan

Filsafat Stoik, yang berakar dari Yunani kuno dan kemudian berkembang di Roma, menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hidup yang selaras dengan alam dan kebajikan. Stoikisme mengajarkan bahwa manusia tidak bisa mengendalikan kejadian eksternal---seperti cuaca, penyakit, atau bahkan kematian---tetapi kita bisa mengendalikan reaksi kita terhadap kejadian-kejadian tersebut. Kekuatan batin untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan adalah inti dari kebijaksanaan Stoik.

Marcus Aurelius dalam Meditations sering menulis tentang pentingnya memahami perbedaan antara apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang tidak. Menurutnya, hanya tindakan dan sikap kita sendiri yang berada di bawah kendali kita, sedangkan segala hal eksternal---keadaan sosial, ekonomi, atau lingkungan---di luar jangkauan pengaruh kita. Karena itu, Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak dalam ketenangan batin dan penerimaan terhadap dunia sebagaimana adanya, bukan dalam pengejaran kekayaan, ketenaran, atau kekuasaan.

Kehidupan Yang Digerakkan oleh Kebajikan

Salah satu ajaran sentral dari filsafat Marcus Aurelius adalah bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam kebajikan. Kebajikan, dalam konteks Stoikisme, mencakup berbagai hal seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri. Dalam pandangan Marcus, kebajikan adalah tujuan hidup manusia. Seseorang tidak dapat benar-benar bahagia tanpa berusaha menjadi individu yang baik, bukan hanya dalam konteks moral, tetapi juga dalam bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.

Marcus menekankan pentingnya hidup dengan kesadaran bahwa kita adalah bagian dari komunitas manusia yang lebih besar. Kebajikan, dalam arti Stoik, tidak hanya berarti melakukan hal yang benar secara pribadi, tetapi juga memberi kontribusi kepada kebaikan bersama. Misalnya, dalam Meditations, Marcus sering menulis tentang pentingnya melayani orang lain dengan keadilan dan kebijaksanaan, bukan hanya demi mereka, tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat integritas dan kedamaian batin kita sendiri.

Kebahagiaan Tidak Bergantung pada Hal-Hal Eksternal

Salah satu pesan penting dari filsafat Marcus Aurelius adalah bahwa kebahagiaan tidak boleh bergantung pada hal-hal eksternal yang sifatnya sementara dan tidak menentu. Harta benda, status sosial, kesehatan, bahkan keluarga, pada akhirnya adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita. Marcus menekankan bahwa penderitaan sering kali berasal dari ketergantungan kita pada hal-hal yang bisa hilang kapan saja.

Dalam Meditations, Marcus menyarankan agar kita melepaskan keterikatan emosional terhadap hal-hal yang tidak abadi. Dia mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara, dan menerima kenyataan ini adalah kunci untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Dengan memfokuskan perhatian kita pada apa yang benar-benar penting---yaitu cara kita berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan orang lain---kita dapat mencapai kebahagiaan yang tidak tergoyahkan oleh perubahan dunia di sekitar kita.

Menerima Kematian Sebagai Bagian Dari Kehidupan

Bagi Marcus Aurelius, salah satu aspek penting dari kebahagiaan adalah menerima kenyataan kematian. Dalam Stoikisme, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan merupakan bagian alami dari kehidupan. Marcus menulis dengan penuh kebijaksanaan tentang bagaimana kematian adalah proses yang wajar dan tak terelakkan. Baginya, ketakutan akan kematian hanyalah gangguan yang menghalangi kita untuk hidup sepenuhnya pada saat ini.

Dengan menerima kematian sebagai hal yang alami, kita juga diingatkan akan pentingnya hidup secara autentik dan bermakna. Hidup yang baik adalah hidup yang setiap tindakannya didasarkan pada kebajikan dan bukan pada pengejaran kenikmatan yang fana atau ketakutan akan kehilangan. Dengan menerima ketidakpastian hidup, kita menjadi lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna.

Ketenangan Batin dan Disiplin Diri

Disiplin diri adalah salah satu pilar Stoikisme yang juga dipraktikkan secara ketat oleh Marcus Aurelius. Dia percaya bahwa emosi yang tidak terkendali, seperti amarah, iri hati, atau kesedihan, adalah musuh utama kebahagiaan. Marcus mengajarkan bahwa kita harus melatih diri untuk tetap tenang dalam menghadapi situasi apapun, baik itu kesulitan, kesenangan, atau tragedi. Dengan menjaga ketenangan batin, kita bisa bertindak lebih rasional dan tidak terbawa oleh dorongan-dorongan emosional yang merusak.

Marcus juga sering mengingatkan dirinya sendiri dalam Meditations untuk bersikap sabar dan tidak membiarkan dirinya terperangkap dalam emosi negatif. Dia menekankan pentingnya introspeksi dan refleksi harian sebagai cara untuk menjaga ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.

Penutup: Kebahagiaan dalam Kendali Diri

Bagi Marcus Aurelius, kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikirannya sendiri, hidup dengan kebajikan, dan menerima kenyataan dunia sebagaimana adanya. Dalam menghadapi tanggung jawab besar sebagai kaisar Romawi, Marcus tidak mencari pelarian dalam kesenangan duniawi, melainkan dalam disiplin diri dan ketenangan batin. Dia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dicapai melalui kekayaan atau kekuasaan, tetapi melalui pengendalian diri, kebajikan, dan penerimaan terhadap takdir.

Filsafat kebahagiaan Marcus Aurelius, seperti yang tertuang dalam Meditations, menawarkan pandangan yang dalam dan relevan hingga saat ini. Kebijaksanaan Stoik yang dia anut membantu kita melihat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang dicari di luar diri, melainkan ditemukan dalam batin yang tenang dan kehidupan yang berbudi luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun