4. Sentralisasi Vs. Desentralisasi yang Bermasalah
Pemilu 1997 berlangsung dalam kerangka pemerintahan yang sangat tersentralisasi, di mana semua keputusan besar diambil di Jakarta, dengan kontrol penuh dari pemerintah pusat. Walaupun ini mengurangi kebebasan politik lokal, sistem ini mencegah adanya konflik kepentingan yang berlebihan di daerah, yang seringkali terjadi pada Pilkada era desentralisasi.
Sebaliknya, Pilkada 2017 menunjukkan bahwa desentralisasi, meskipun memberikan otonomi lebih besar bagi daerah, juga membawa berbagai masalah baru. Misalnya, Pilkada DKI Jakarta memperlihatkan bagaimana elit-elit politik lokal dan nasional memanfaatkan konflik di daerah untuk mencapai kepentingan politik masing-masing. Desentralisasi politik yang tidak diimbangi dengan penguatan institusi-institusi penegak hukum mengakibatkan maraknya korupsi dan manipulasi kekuasaan di tingkat daerah.
5. Pengawasan Pemilu: Kualitas Berbeda
Meskipun Pemilu 1997 dikritik karena minimnya pengawasan dan kontrol, pada era itu, masih terdapat mekanisme formal yang relatif lebih stabil dalam penyelenggaraan pemilu. Panitia Pemilu didominasi oleh aparat pemerintah, tetapi struktur pengawasannya lebih terpusat dan tidak terjadi ketimpangan besar antar daerah. Pengawasan internal, meski terbatas, tetap efektif dalam menjaga proses secara formal.
Pilkada 2017, di sisi lain, memperlihatkan lemahnya pengawasan oleh institusi seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Banyaknya laporan pelanggaran dalam Pilkada 2017 menunjukkan betapa proses pemilihan kepala daerah jauh dari sempurna. Data dari Bawaslu mencatat bahwa selama masa Pilkada 2017, terdapat lebih dari 1.300 laporan pelanggaran yang meliputi politik uang, intimidasi, dan manipulasi suara. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan laporan-laporan pelanggaran pada Pemilu 1997 yang lebih tersentralisasi.
6. Dana Kampanye: Mengkhawatirkan di Pilkada 2017
Pemilu 1997 dikuasai oleh negara yang menyediakan dana operasional bagi peserta pemilu seperti Golkar, PPP, dan PDI. Meskipun terdapat kendala transparansi, dana kampanye relatif dikontrol. Di Pilkada 2017, masalah dana kampanye jauh lebih kompleks. Kandidat bergantung pada sumbangan dari pihak swasta yang sering kali tidak transparan. Akibatnya, politik uang menjadi hal yang lumrah, dan potensi korupsi meningkat ketika kandidat terpilih harus "membalas budi" kepada donatur mereka.
Menurut laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), dana kampanye di Pilkada 2017 tidak diaudit secara transparan, dan terdapat indikasi bahwa banyak kandidat menerima dana dari sumber-sumber yang tidak jelas. Ini menciptakan ketergantungan pada oligarki yang membahayakan kemandirian calon terpilih dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Kesimpulan
Meskipun Pemilu 1997 dijalankan di bawah rezim otoriter, ada beberapa aspek yang membuatnya lebih baik dibandingkan Pilkada 2017. Polarisasi sosial, lemahnya pengawasan, manipulasi melalui media sosial, serta ketergantungan pada dana kampanye swasta yang tidak transparan membuat Pilkada 2017 memiliki banyak kekurangan. Demokrasi Indonesia membutuhkan perbaikan mendasar dalam hal pengelolaan pemilu, pengawasan, dan penguatan institusi hukum agar dapat menghasilkan pemimpin yang lebih kredibel dan mampu menjaga persatuan bangsa.