Soekarno, atau yang lebih akrab dipanggil Bung Karno, bukan hanya seorang pemimpin besar revolusi, proklamator kemerdekaan, dan Presiden pertama Indonesia, tetapi juga seorang pemikir yang cemerlang. Salah satu warisan pemikirannya yang paling signifikan adalah istilah Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Istilah ini tidak hanya mencerminkan pandangan politik Bung Karno, tetapi juga menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam merealisasikan cita-cita kemerdekaan sejati: kemakmuran bagi seluruh rakyat, terutama kaum marhaen, kelas bawah yang diperjuangkannya.
Latar Belakang Istilah Ampera
Istilah Ampera muncul pada era pasca kemerdekaan, di tengah pergolakan politik dan ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1960-an. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Bung Karno menyadari bahwa perjuangan bangsa Indonesia belum berakhir. Kemerdekaan bukan hanya tentang pengakuan kedaulatan secara politik, tetapi juga tentang mencapai kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Untuk itu, Bung Karno memperkenalkan berbagai konsep dan gagasan, salah satunya adalah Ampera, yang berasal dari frasa Amanat Penderitaan Rakyat. Bung Karno Pertama Kali Kumandangkan Ampera Pada 15 Desember 1960 pada Pembukaan Kongres Partai Murba. Pidatonya Ia Beri judul: Nasionalismeku Nasionalisme Ampera.
Ampera lahir sebagai sebuah visi dan pedoman moral bagi seluruh pemimpin bangsa. Bung Karno meyakini bahwa kemerdekaan yang sejati hanya bisa terwujud jika pemimpin-pemimpin bangsa mendengarkan suara dan kebutuhan rakyat yang menderita akibat kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan, baik dari kolonialisme maupun dari sistem yang tidak berpihak kepada mereka. Ampera adalah peringatan bagi para pemimpin bahwa tugas mereka adalah memperjuangkan nasib rakyat kecil, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau golongan tertentu.
Esensi Ampera: Mengabdi kepada Rakyat
Dalam pandangan Bung Karno, Ampera bukan hanya sebuah slogan politik. Itu adalah esensi dari tugas seorang pemimpin: untuk mengabdi kepada rakyat, terutama mereka yang termarjinalkan. Bagi Bung Karno, penderitaan rakyat yang terjadi pada masa penjajahan harus berakhir dengan kemerdekaan Indonesia. Namun, ia juga memahami bahwa kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi adalah kemerdekaan yang pincang.
Pada masa Orde Lama, ketika Bung Karno memimpin dengan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), ia sering menggunakan istilah Ampera sebagai seruan moral bagi para pejabat dan pemimpin bangsa. Dalam berbagai pidato, ia selalu menekankan bahwa pembangunan nasional harus mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk segelintir elite atau pihak asing yang berusaha mengambil keuntungan dari sumber daya Indonesia.
Dalam pidato 17 Agustus 1965, Bung Karno secara eksplisit menyatakan bahwa revolusi Indonesia harus tetap berjalan untuk menyelesaikan tiga persoalan utama, yakni menghapus kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Semua itu dirangkum dalam Ampera, yang pada dasarnya adalah visi politik untuk mencapai Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.
Ampera dan Trisakti
Keterkaitan antara Ampera dan Trisakti sangat jelas dalam visi Bung Karno. Trisakti adalah konsep strategis yang menguraikan bagaimana Indonesia harus berdaulat sepenuhnya sebagai bangsa. Trisakti menekankan bahwa Indonesia harus memiliki kemandirian politik, ekonomi, dan budaya. Untuk mencapai itu, pemimpin bangsa harus menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat. Tanpa mengatasi penderitaan rakyat, kemerdekaan Indonesia hanya akan menjadi kemerdekaan formal, bukan substansial.