(Menyambut Kampanye Pilkada 2024 Yang Sudah Dimulai)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah menjadi instrumen demokrasi yang penting dalam politik Indonesia. Dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin lokal yang dianggap paling layak memimpin mereka. Di satu sisi, Pilkada adalah wujud dari demokrasi partisipatif, di mana rakyat dilibatkan secara langsung dalam proses pemilihan. Namun, di sisi lain, pertanyaan besar yang harus kita tanyakan adalah: sejauh mana Pilkada telah memenuhi mandat kesejahteraan rakyat, khususnya kaum marhaen?
Demokrasi Pilkada dan Harapan Kesejahteraan
Dalam konteks demokrasi Indonesia, Pilkada diharapkan menjadi alat yang mampu menghadirkan pemimpin yang memiliki kepekaan sosial tinggi dan berpihak pada kepentingan rakyat.Â
Pilkada seharusnya bukan hanya soal menang-kalah dalam pemilu, melainkan juga tentang bagaimana pemimpin yang terpilih membawa perubahan nyata bagi kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan marhaen, yaitu rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada kerja keras sehari-hari.
Kaum marhaen yang terpinggirkan sering kali menjadi objek politik daripada subjek yang memiliki kuasa. Mereka dijadikan mesin suara untuk kepentingan politik elit, sementara kesejahteraan yang dijanjikan sering kali hanya sebatas retorika kampanye. Padahal, mandat utama seorang pemimpin daerah adalah memajukan ekonomi lokal, memastikan akses pendidikan, dan memberikan pelayanan kesehatan yang merata. Namun, kenyataannya masih banyak pemimpin yang gagal menunaikan tanggung jawab ini.
Pilkada dan Ketimpangan Sosial
Masalah kesejahteraan marhaen sangat erat kaitannya dengan struktur politik dan ekonomi yang tidak adil. Pilkada sebagai instrumen politik masih sering dijadikan ajang perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan substansi dari kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang terpilih sering kali lebih fokus pada upaya mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan hak-hak rakyat.
Salah satu masalah utama dalam Pilkada adalah politik uang yang masih marak terjadi. Bagi masyarakat marhaen yang ekonominya terbatas, politik uang ini sering kali menjadi tawaran yang sulit ditolak. Di sisi lain, para calon pemimpin yang mengandalkan politik uang lebih cenderung mementingkan kepentingan kelompok elit yang mendanai kampanye mereka daripada benar-benar memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Ketimpangan sosial semakin tajam karena janji-janji kesejahteraan tidak pernah diwujudkan dengan nyata. Banyak daerah yang memiliki potensi ekonomi besar namun masih tertinggal karena kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat. Rakyat marhaen, yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam kebijakan publik, justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat kurangnya perhatian dari pemimpin daerah yang terpilih.