Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

64 Tahun Hari Tani Nasional: Sudahkah Petani dan Desa Terbebas dari Kemiskinan?

24 September 2024   06:14 Diperbarui: 24 September 2024   06:14 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tanggal 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai momentum untuk mengapresiasi peran penting petani dalam menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Namun, di balik peringatan ini, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: sudahkah petani dan desa, sebagai pusat kehidupan agraris Indonesia, terbebas dari kemiskinan?

Sejak dicanangkannya Hari Tani Nasional pada tahun 1960 bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pemerintah terus berupaya memberikan perhatian kepada sektor pertanian, termasuk distribusi tanah yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani Indonesia masih berada dalam lingkaran kemiskinan.

Kemiskinan di Desa Masih Tinggi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2023, angka kemiskinan di pedesaan mencapai 12,36%, lebih tinggi daripada kemiskinan di perkotaan yang berada di angka 7,54%. Dari sekitar 26 juta penduduk miskin di Indonesia, 15 juta di antaranya tinggal di pedesaan yang mayoritas menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Fakta ini menggambarkan ketimpangan kesejahteraan yang signifikan antara kota dan desa. Sebagai negara agraris, angka ini menjadi ironi, mengingat desa-desa di Indonesia seharusnya menjadi pusat kesejahteraan yang didukung oleh kekayaan alam.

Salah satu faktor penyebab tingginya kemiskinan di desa adalah terbatasnya akses petani terhadap lahan pertanian yang layak. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 56% petani di Indonesia adalah petani gurem atau petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Luas lahan yang sempit ini jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk mengembangkan usaha pertanian yang produktif. Lahan sempit juga membuat petani rentan terhadap fluktuasi harga komoditas, musim, dan hama.

Harga Komoditas yang Tidak Stabil

Masalah lain yang terus membayangi petani adalah ketidakstabilan harga komoditas pertanian. Fenomena klasik seperti rendahnya harga gabah pada musim panen raya kerap membuat petani mengalami kerugian. Sebagai contoh, pada awal tahun 2023, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sempat anjlok hingga Rp 4.000 per kilogram, jauh di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, harga kebutuhan produksi seperti pupuk dan benih terus mengalami kenaikan, sehingga keuntungan yang diperoleh petani semakin tergerus.

Pemerintah memang telah mencoba memberikan subsidi untuk membantu petani, seperti subsidi pupuk, namun realisasinya sering tidak tepat sasaran. Berdasarkan laporan KPK pada tahun 2022, distribusi pupuk bersubsidi masih mengalami berbagai penyimpangan, mulai dari korupsi hingga penyaluran yang tidak merata. Akibatnya, banyak petani kecil yang tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi dan terpaksa membeli dengan harga pasar yang lebih tinggi.

Minimnya Infrastruktur Pendukung

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan sektor pertanian adalah infrastruktur yang memadai, terutama untuk akses transportasi dan irigasi. Sayangnya, di banyak desa di Indonesia, akses jalan yang buruk serta jaringan irigasi yang belum memadai menjadi hambatan serius. BPS mencatat, pada tahun 2022, masih terdapat sekitar 18% sawah irigasi teknis yang belum optimal beroperasi, menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Kondisi ini diperparah dengan minimnya akses petani terhadap teknologi pertanian modern.

Infrastruktur yang kurang memadai juga berdampak pada pemasaran hasil panen. Petani sering kali mengalami kesulitan menjual produk mereka karena akses ke pasar yang terbatas, sehingga harga yang diterima jauh lebih rendah daripada harga di pasar kota. Fenomena ini menambah panjang rantai distribusi yang mengurangi keuntungan petani.

Program Reforma Agraria yang Masih Tersendat

Untuk mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah sebenarnya telah mencanangkan program reforma agraria yang bertujuan untuk redistribusi lahan kepada petani kecil. Namun, menurut data KPA, realisasi program ini masih jauh dari target. Dari 9 juta hektar lahan yang dijanjikan dalam reforma agraria, hingga tahun 2023, baru sekitar 4 juta hektar yang berhasil didistribusikan. Lambatnya proses redistribusi ini menjadi penghalang utama bagi petani kecil untuk memperluas lahan garapan dan meningkatkan produktivitas.

Selain itu, reforma agraria juga dihadapkan pada masalah konflik agraria yang terus meningkat. Pada tahun 2023, tercatat 273 konflik agraria yang melibatkan petani, perusahaan, dan pemerintah. Konflik ini sering kali berakhir dengan penggusuran paksa petani dari lahan yang mereka garap, menambah jumlah petani tanpa lahan yang berujung pada kemiskinan struktural.

Solusi yang Perlu Didorong

Melihat kondisi tersebut, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan kesejahteraan petani dan desa. Pertama, percepatan redistribusi lahan melalui program reforma agraria harus menjadi prioritas utama pemerintah. Redistribusi ini harus dilakukan secara transparan dan adil, sehingga petani kecil benar-benar mendapatkan akses terhadap lahan yang produktif.

Kedua, stabilitas harga komoditas pertanian perlu dijaga melalui kebijakan yang lebih proaktif, seperti penetapan harga dasar yang lebih tinggi dan pembentukan badan penyangga pangan yang efektif. Pemerintah juga harus memastikan distribusi subsidi, terutama pupuk dan benih, berjalan dengan baik dan tepat sasaran.

Ketiga, pembangunan infrastruktur pedesaan, terutama irigasi dan akses transportasi, harus ditingkatkan. Investasi pada teknologi pertanian modern juga harus didorong, sehingga petani bisa meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka di pasar.

KSPI
KSPI

Kesimpulan

Meskipun sudah 64 tahun berlalu sejak Hari Tani Nasional pertama kali diperingati, petani Indonesia masih menghadapi banyak tantangan yang membuat mereka terjebak dalam kemiskinan. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan yang sejati bagi petani dan desa. Hanya dengan langkah-langkah yang konkret, keadilan agraria yang diimpikan sejak 1960 bisa terwujud, dan petani dapat terbebas dari belenggu kemiskinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun