Kritik terhadap Struktur Logis Filsafat Barat
Sebagai bagian dari kritiknya terhadap maskulinitas bahasa, Irigaray juga menantang tradisi filsafat Barat yang didominasi oleh pria. Dalam karya-karya seperti Speculum of the Other Woman, dia meneliti tokoh-tokoh besar dalam filsafat, seperti Plato, Aristoteles, Kant, dan Hegel, untuk menunjukkan bagaimana pemikiran mereka dibentuk oleh asumsi maskulin tentang identitas, logika, dan moralitas. Filsafat Barat, dalam pandangan Irigaray, sering kali mengabaikan atau mendistorsi pengalaman perempuan dan hanya mengakui pria sebagai subjek universal.
Irigaray menganggap bahwa kategori logis seperti identitas, kontradiksi, dan kesatuan bersifat maskulin. Filsafat tradisional cenderung menyukai kategori-kategori ini karena mereka mencerminkan cara pria memandang dunia: sebagai sesuatu yang dapat dikuasai, dipisahkan, dan didefinisikan secara tegas. Sebaliknya, pengalaman perempuan, dalam pandangan Irigaray, lebih bersifat relasional, cair, dan plural, yang tidak sesuai dengan batasan logika maskulin ini.
Alternatif Irigaray: Membentuk Bahasa Feminin
Salah satu kontribusi terbesar Irigaray adalah usahanya untuk menemukan alternatif terhadap bahasa maskulin yang dominan. Ia menyerukan pembuatan bahasa baru yang lebih sesuai untuk mewakili pengalaman dan identitas perempuan. Bahasa ini, menurutnya, harus mencerminkan pluralitas, fluiditas, dan keterkaitan yang menjadi ciri khas pengalaman perempuan. Alih-alih berfokus pada satu subjek yang tegas, seperti yang terlihat dalam bahasa maskulin, bahasa feminin akan lebih bersifat dialogis dan terbuka terhadap perbedaan.
Irigaray juga menekankan pentingnya perempuan untuk "berbicara dari tubuh mereka sendiri", dengan cara yang menghormati pengalaman unik mereka sebagai perempuan. Ini tidak berarti perempuan harus menolak bahasa yang ada sama sekali, tetapi mereka perlu mengubahnya dan memperluas batas-batasnya untuk mencakup dimensi-dimensi yang sebelumnya diabaikan atau ditekan.
Kesimpulan
Maskulinitas bahasa, seperti yang diuraikan oleh Luce Irigaray, menunjukkan bagaimana bahasa tidak pernah netral tetapi selalu terjalin dengan kekuasaan dan gender. Bahasa maskulin, dalam pandangan Irigaray, telah membatasi dan menekan pengalaman perempuan, memaksa mereka untuk berbicara dalam kategori yang tidak mencerminkan kehidupan mereka. Irigaray mengusulkan perlunya bahasa baru yang lebih terbuka terhadap pluralitas, fluiditas, dan sensualitas perempuan, sebuah bahasa yang memungkinkan perempuan menjadi subjek, bukan sekadar objek dalam wacana patriarkal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H