Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisakah Bung Karno dan Soeharto Berdamai dengan Sejarah?

16 September 2024   07:07 Diperbarui: 16 September 2024   07:18 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dua nama besar yang memiliki pengaruh mendalam terhadap perjalanan bangsa ini: Soekarno dan Soeharto. Keduanya adalah figur sentral yang membawa perubahan besar dalam politik, ekonomi, dan kehidupan sosial Indonesia. Meski demikian, hubungan antara Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno, dan Soeharto penuh dengan tensi dan perbedaan pandangan politik. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: bisakah kedua tokoh besar ini berdamai dengan sejarah, meskipun dalam dunia pasca-kematian?

Latar Belakang: Bung Karno dan Soeharto

Soekarno adalah proklamator kemerdekaan Indonesia, presiden pertama, dan tokoh utama yang merumuskan dasar negara, Pancasila. Perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membentuk negara yang berdaulat, merdeka, dan berkeadilan sosial menjadikannya figur yang sangat dihormati dalam sejarah Indonesia. Sebaliknya, Soeharto adalah presiden kedua Indonesia yang memerintah selama lebih dari tiga dekade melalui Orde Baru, setelah menggantikan Soekarno melalui serangkaian peristiwa politik yang dipicu oleh Gerakan 30 September 1965.

Hubungan antara Soekarno dan Soeharto mulai menegang pada pertengahan 1960-an ketika konflik internal di pemerintahan Soekarno semakin meningkat. Pada saat itu, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah kudeta militer yang membalikkan posisi Soekarno, yang dituduh oleh beberapa pihak terlalu dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Soeharto memulai Orde Baru dengan narasi kuat mengenai "penyelamatan negara" dari ancaman komunis, sementara posisi Soekarno sebagai pemimpin bangsa perlahan-lahan dikesampingkan dan reputasinya dipersalahkan dalam konteks politik waktu itu.

Perbedaan Pandangan dan Kepemimpinan

Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Soeharto tampak jelas dalam gaya kepemimpinan mereka. Soekarno memiliki visi politik yang penuh dengan ideologi dan retorika besar. Ia adalah seorang orator ulung yang mampu menggerakkan massa dengan pidato-pidato kebangsaannya yang membangkitkan semangat nasionalisme dan anti-imperialisme. Gagasan-gagasannya tentang "berdikari" dan anti-Barat seringkali menjadi pedoman dalam kebijakan luar negeri dan ekonominya. Soekarno bermimpi menjadikan Indonesia sebagai negara pemimpin di dunia ketiga, berdiri tegak melawan dominasi kekuatan Barat.

Di sisi lain, Soeharto lebih pragmatis. Sebagai seorang militer, Soeharto lebih fokus pada stabilitas dan pembangunan ekonomi. Setelah naik ke kekuasaan, Soeharto menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menjadi lebih pro-Barat dan membuka pintu bagi investasi asing. Orde Baru memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan nasional dengan cara-cara yang seringkali represif terhadap lawan politik dan suara-suara kritis. Stabilitas adalah mantra Soeharto, sedangkan retorika dan visi besar adalah kekuatan Soekarno.

Dendam Sejarah atau Pelajaran?

Pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang adalah apakah kedua tokoh ini bisa 'berdamai' dengan sejarah? Pada dasarnya, yang dimaksud dengan berdamai dengan sejarah bukan hanya tentang bagaimana kedua tokoh ini memandang masa lalu, tetapi juga bagaimana bangsa ini bisa memandang warisan mereka secara lebih utuh dan adil.

Bung Karno, selama Orde Baru, dijauhkan dari sejarah resmi. Pemikiran dan gagasannya dipinggirkan, bahkan dicap negatif oleh narasi Orde Baru yang cenderung menekankan aspek kegagalan ekonomi dan kedekatannya dengan PKI. Baru setelah jatuhnya Soeharto, Soekarno kembali diterima secara lebih luas dalam narasi sejarah Indonesia, dengan penekanan pada perjuangan kemerdekaan dan gagasan besarnya tentang kebangsaan.

Namun, warisan Soeharto juga menjadi bagian yang tidak dapat dihapus dari sejarah bangsa. Selama lebih dari 30 tahun kekuasaannya, Soeharto membawa pembangunan ekonomi yang signifikan. Namun, di sisi lain, kekuasaan yang terlalu sentralistik dan represif membuat banyak luka dalam sejarah bangsa, seperti kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang masif.

Untuk berdamai dengan sejarah, kita harus bisa melihat kedua tokoh ini dengan kacamata yang lebih luas, tanpa fanatisme dan kebencian. Soekarno dan Soeharto, terlepas dari segala kekurangannya, adalah produk dari zamannya. Bung Karno adalah produk dari perjuangan anti-kolonialisme, sementara Soeharto adalah produk dari kekhawatiran terhadap ancaman ideologi global pasca-Perang Dingin.

Mengakhiri Politisasi Sejarah

Masalah terbesar yang menghalangi kita untuk berdamai dengan sejarah kedua tokoh ini adalah politisasi sejarah itu sendiri. Orde Baru menekankan narasi yang mengunggulkan Soeharto sebagai penyelamat bangsa, sementara Soekarno sering dikesampingkan. Setelah reformasi, ada kecenderungan balik arah, di mana Soeharto dipandang negatif dan Soekarno kembali diagungkan.

Untuk bisa benar-benar berdamai, perlu ada keseimbangan dalam narasi sejarah. Sejarah tidak boleh dimonopoli oleh kepentingan politik sesaat. Bung Karno adalah pahlawan bangsa yang meletakkan dasar-dasar kebangsaan dan kemerdekaan. Soeharto, dengan segala kekurangannya, adalah pemimpin yang membawa Indonesia melalui periode pembangunan ekonomi yang signifikan, meski dengan cara yang represif.

Rekonsiliasi Nasional

Rekonsiliasi nasional tidak harus melalui tokoh-tokoh ini secara langsung, melainkan melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap sejarah kita sendiri. Kedua tokoh ini mungkin tidak akan pernah berdamai dalam dunia nyata, tetapi bangsa ini harus bisa berdamai dengan warisan mereka. Bung Karno dan Soeharto, dalam perspektif sejarah, adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa kita.

Berdamai dengan sejarah bukan berarti melupakan kesalahan masa lalu, tetapi belajar darinya dan menjadikannya landasan untuk masa depan yang lebih baik. Warisan Soekarno dan Soeharto, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, harus dipelajari secara kritis, tetapi juga dengan rasa hormat terhadap peran mereka dalam membentuk Indonesia yang kita kenal hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun