Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

John Wansbrough: Kritik Intensitas Al-Qur'an

16 September 2024   06:00 Diperbarui: 16 September 2024   06:00 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

John Wansbrough, seorang sarjana Barat yang sangat berpengaruh dalam studi Islam, khususnya dalam kajian Al-Qur'an, dikenal karena pendekatannya yang kontroversial dalam mengkaji asal-usul teks Al-Qur'an. Pendekatannya bukan hanya sekadar mempertanyakan konteks historis pembentukan Al-Qur'an, tetapi juga menawarkan kerangka kerja kritis yang berbeda dalam memahami bagaimana teks suci umat Islam ini berkembang seiring waktu. Dalam pandangannya, Al-Qur'an tidak muncul dalam satu waktu tertentu dan selesai begitu saja, melainkan melalui proses panjang dalam sebuah komunitas yang berkembang.

Melalui tulisannya, seperti Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) dan The Sectarian Milieu (1978), Wansbrough memperkenalkan teori radikal yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah produk dari tradisi oral yang berkembang selama beberapa abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Pendapat ini, tentu saja, mendapat kritik keras dari kalangan Muslim tradisionalis, namun bagi para akademisi dan orientalis, teori Wansbrough membuka pintu diskusi baru mengenai asal-usul dan perkembangan teks Al-Qur'an.

Kritik John Wansbrough terhadap Kronologi Pembentukan Al-Qur'an

Salah satu kritik utama Wansbrough adalah terhadap gagasan bahwa Al-Qur'an disusun dan selesai dalam satu periode yang singkat, yakni selama kehidupan Nabi Muhammad. Menurut perspektif Islam tradisional, Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril. Setelah itu, teks tersebut dikumpulkan menjadi satu kitab yang utuh pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Utsman bin Affan.

Namun, Wansbrough meragukan narasi ini. Ia berpendapat bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an sebenarnya terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama, dan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, politik, dan agama yang lebih luas di Timur Tengah pada masa-masa awal Islam. Ia menyarankan bahwa Al-Qur'an harus dilihat sebagai teks yang berkembang di dalam lingkungan yang ia sebut sebagai sectarian milieu, yakni lingkungan sekte-sekte agama yang saling berinteraksi, termasuk Yahudi dan Kristen.

Wansbrough melihat adanya kemiripan antara beberapa elemen dalam Al-Qur'an dengan tradisi Yahudi dan Nasrani yang berkembang di Timur Tengah pada abad ke-7 dan ke-8. Dalam pandangannya, elemen-elemen ini bukanlah hasil dari wahyu ilahi yang independen, tetapi lebih sebagai hasil dari interaksi antara berbagai kelompok keagamaan. Ia berpendapat bahwa beberapa bagian Al-Qur'an dapat dipahami sebagai respons atau dialog dengan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani pada waktu itu.

Metode Kritik Filologi

Wansbrough juga menerapkan metode filologi dalam mengkaji teks Al-Qur'an. Filologi adalah studi kritis terhadap teks dengan fokus pada bahasa, struktur, dan sejarahnya. Dalam menerapkan metode ini pada Al-Qur'an, Wansbrough mencoba untuk menemukan lapisan-lapisan teks yang mungkin telah ditambahkan atau disusun ulang dari versi-versi sebelumnya. Dengan melihat berbagai variasi teks yang ada dalam manuskrip-manuskrip kuno, ia berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak diturunkan dalam bentuk tunggal seperti yang diterima oleh umat Islam saat ini, tetapi melalui serangkaian proses redaksional yang panjang.

Melalui pendekatan ini, Wansbrough mengidentifikasi apa yang ia sebut sebagai "genre" dalam Al-Qur'an, seperti narasi, perintah-perintah hukum, dan perumpamaan-perumpamaan. Ia berargumen bahwa masing-masing bagian ini mungkin berasal dari konteks yang berbeda dan kemudian disatukan dalam satu teks final. Dengan kata lain, Wansbrough melihat Al-Qur'an sebagai kumpulan teks-teks yang terbentuk secara bertahap, dan bukan hasil dari wahyu tunggal yang diberikan secara berkesinambungan.

Kritik terhadap Metodologi Wansbrough

Meski pendekatan Wansbrough terhadap studi Al-Qur'an dianggap inovatif dan memicu banyak perdebatan akademis, kritik terhadap pandangannya juga tidak sedikit, terutama dari kalangan Muslim dan sarjana yang lebih konservatif. Mereka berpendapat bahwa pendekatan Wansbrough terlalu spekulatif dan kurang didasarkan pada bukti-bukti yang kuat.

Salah satu kritik utama adalah bahwa Wansbrough terlalu menekankan pada teori lingkungan sektarian dan mengabaikan fakta bahwa Al-Qur'an telah diterima oleh umat Islam sejak awal sebagai wahyu ilahi yang tidak dapat diubah. Pandangan Wansbrough yang menyatakan bahwa Al-Qur'an berkembang selama beberapa abad bertentangan dengan sejarah Islam yang mencatat bahwa Al-Qur'an telah dikodifikasikan sejak masa khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7. Bahkan bukti-bukti manuskrip kuno, seperti manuskrip Birmingham yang baru ditemukan, menunjukkan bahwa teks Al-Qur'an sudah ada dalam bentuk yang hampir identik dengan teks modern sejak masa yang sangat awal.

Selain itu, pendekatan filologis Wansbrough juga mendapat kritik karena dianggap terlalu fokus pada analisis teks tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual dan keagamaan dari Al-Qur'an. Bagi umat Islam, Al-Qur'an bukan sekadar teks sejarah atau sastra, tetapi juga kitab suci yang mengandung petunjuk hidup dari Tuhan. Mengabaikan aspek keagamaan ini dianggap sebagai kekurangan dalam pendekatan Wansbrough.

Dampak Pemikiran Wansbrough

Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada Wansbrough, kontribusinya dalam studi Al-Qur'an tidak dapat diabaikan. Pemikirannya telah membuka jalan bagi banyak studi kritis lain mengenai Al-Qur'an, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Pendekatannya mengundang pertanyaan-pertanyaan penting tentang asal-usul teks Al-Qur'an dan mendorong dialog akademis yang lebih luas tentang hubungan antara Islam, Yahudi, dan Kristen di masa-masa awal sejarah Islam.

Sarjana-sarjana seperti Patricia Crone, Michael Cook, dan Gerald Hawting adalah beberapa dari generasi akademisi yang terinspirasi oleh pendekatan Wansbrough. Mereka melanjutkan kajian kritis terhadap sejarah Islam awal dan teks Al-Qur'an dengan berbagai pendekatan baru, termasuk penggunaan arkeologi dan analisis manuskrip kuno.

Di sisi lain, pemikiran Wansbrough juga memaksa para sarjana Muslim untuk lebih mendalami studi sejarah dan kritik teks. Meskipun banyak sarjana Muslim yang menolak pendekatan dan kesimpulan Wansbrough, karya-karyanya memacu mereka untuk mempertahankan argumen tradisional dengan bukti-bukti yang lebih kuat, baik dari sudut pandang historis maupun teologis.

Kesimpulan

John Wansbrough adalah salah satu sarjana paling kontroversial dalam studi Al-Qur'an. Melalui pendekatan filologi dan teorinya tentang lingkungan sektarian, ia menawarkan pandangan baru tentang asal-usul Al-Qur'an yang berbeda dari narasi tradisional Islam. Meskipun banyak kritik yang diarahkan pada metodologinya, pemikirannya tetap memberikan dampak besar dalam studi Islam dan terus memicu perdebatan hingga hari ini.

Kritik intensitas terhadap Al-Qur'an yang dilakukan oleh Wansbrough memperlihatkan pentingnya pendekatan multi-disiplin dalam memahami teks-teks suci. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pendekatan akademis murni tidak selalu bisa mengakomodasi dimensi spiritual yang menjadi esensi dari kitab suci bagi penganutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun