John Wansbrough, seorang sarjana Barat yang sangat berpengaruh dalam studi Islam, khususnya dalam kajian Al-Qur'an, dikenal karena pendekatannya yang kontroversial dalam mengkaji asal-usul teks Al-Qur'an. Pendekatannya bukan hanya sekadar mempertanyakan konteks historis pembentukan Al-Qur'an, tetapi juga menawarkan kerangka kerja kritis yang berbeda dalam memahami bagaimana teks suci umat Islam ini berkembang seiring waktu. Dalam pandangannya, Al-Qur'an tidak muncul dalam satu waktu tertentu dan selesai begitu saja, melainkan melalui proses panjang dalam sebuah komunitas yang berkembang.
Melalui tulisannya, seperti Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) dan The Sectarian Milieu (1978), Wansbrough memperkenalkan teori radikal yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah produk dari tradisi oral yang berkembang selama beberapa abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Pendapat ini, tentu saja, mendapat kritik keras dari kalangan Muslim tradisionalis, namun bagi para akademisi dan orientalis, teori Wansbrough membuka pintu diskusi baru mengenai asal-usul dan perkembangan teks Al-Qur'an.
Kritik John Wansbrough terhadap Kronologi Pembentukan Al-Qur'an
Salah satu kritik utama Wansbrough adalah terhadap gagasan bahwa Al-Qur'an disusun dan selesai dalam satu periode yang singkat, yakni selama kehidupan Nabi Muhammad. Menurut perspektif Islam tradisional, Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril. Setelah itu, teks tersebut dikumpulkan menjadi satu kitab yang utuh pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Utsman bin Affan.
Namun, Wansbrough meragukan narasi ini. Ia berpendapat bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an sebenarnya terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama, dan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, politik, dan agama yang lebih luas di Timur Tengah pada masa-masa awal Islam. Ia menyarankan bahwa Al-Qur'an harus dilihat sebagai teks yang berkembang di dalam lingkungan yang ia sebut sebagai sectarian milieu, yakni lingkungan sekte-sekte agama yang saling berinteraksi, termasuk Yahudi dan Kristen.
Wansbrough melihat adanya kemiripan antara beberapa elemen dalam Al-Qur'an dengan tradisi Yahudi dan Nasrani yang berkembang di Timur Tengah pada abad ke-7 dan ke-8. Dalam pandangannya, elemen-elemen ini bukanlah hasil dari wahyu ilahi yang independen, tetapi lebih sebagai hasil dari interaksi antara berbagai kelompok keagamaan. Ia berpendapat bahwa beberapa bagian Al-Qur'an dapat dipahami sebagai respons atau dialog dengan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani pada waktu itu.
Metode Kritik Filologi
Wansbrough juga menerapkan metode filologi dalam mengkaji teks Al-Qur'an. Filologi adalah studi kritis terhadap teks dengan fokus pada bahasa, struktur, dan sejarahnya. Dalam menerapkan metode ini pada Al-Qur'an, Wansbrough mencoba untuk menemukan lapisan-lapisan teks yang mungkin telah ditambahkan atau disusun ulang dari versi-versi sebelumnya. Dengan melihat berbagai variasi teks yang ada dalam manuskrip-manuskrip kuno, ia berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak diturunkan dalam bentuk tunggal seperti yang diterima oleh umat Islam saat ini, tetapi melalui serangkaian proses redaksional yang panjang.
Melalui pendekatan ini, Wansbrough mengidentifikasi apa yang ia sebut sebagai "genre" dalam Al-Qur'an, seperti narasi, perintah-perintah hukum, dan perumpamaan-perumpamaan. Ia berargumen bahwa masing-masing bagian ini mungkin berasal dari konteks yang berbeda dan kemudian disatukan dalam satu teks final. Dengan kata lain, Wansbrough melihat Al-Qur'an sebagai kumpulan teks-teks yang terbentuk secara bertahap, dan bukan hasil dari wahyu tunggal yang diberikan secara berkesinambungan.
Kritik terhadap Metodologi Wansbrough