Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Friedrich Heinrich Jacobi, Subjektivitas Absolut dan Krisis Rasionalisme

12 September 2024   13:01 Diperbarui: 12 September 2024   13:19 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.alamy.com/

Friedrich Heinrich Jacobi (1743--1819) adalah salah satu filsuf Jerman yang memainkan peran penting dalam perdebatan filosofis pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Meskipun tidak seterkenal Immanuel Kant atau Hegel, pemikiran Jacobi menempati posisi penting dalam sejarah filsafat, khususnya terkait dengan kritiknya terhadap rasionalisme dan penekanan pada subjektivitas absolut.

Jacobi dikenal karena kritik tajamnya terhadap filsafat rasionalis, yang menurutnya gagal menyentuh esensi manusia yang paling dalam. Baginya, keyakinan pada penalaran dan logika sebagai sumber pengetahuan tertinggi, sebagaimana dijunjung oleh para pemikir seperti Descartes dan Spinoza, mengabaikan dimensi subjektif dari pengalaman manusia yang tak dapat direduksi menjadi konsep-konsep rasional.

Kritik Terhadap Rasionalisme dan Panteisme

Jacobi pertama kali mendapatkan perhatian luas melalui kritiknya terhadap Spinoza, khususnya dalam esai terkenalnya yang diterbitkan pada 1785, ber die Lehre des Spinoza in Briefen an den Herrn Moses Mendelssohn (Tentang Ajaran Spinoza dalam Surat kepada Tuan Moses Mendelssohn). Di dalamnya, Jacobi menuduh filsafat Spinoza sebagai panteisme yang mereduksi kebebasan manusia dan subjektivitas menjadi bagian dari mekanisme alam semesta yang deterministik.

Menurut Jacobi, Spinoza menyajikan dunia sebagai sistem tertutup yang diatur oleh hukum-hukum alam yang ketat dan tak terhindarkan, di mana Tuhan tidak lebih dari substansi alam itu sendiri. Dalam pandangan Jacobi, posisi ini berbahaya karena menghapuskan segala bentuk kebebasan individu dan subjek, menjadikannya hanya sekadar objek di bawah kuasa hukum alam.

Pandangan ini membawa Jacobi kepada kesimpulan bahwa filsafat rasionalis pada akhirnya berujung pada nihilisme, karena ia menghapuskan keberadaan yang hidup dan menggantinya dengan sistem mekanistik. Jacobi menegaskan bahwa rasionalisme, jika dibawa ke kesimpulan akhirnya, akan mengarah pada ateisme dan penghapusan kebebasan manusia, yang menurutnya sama saja dengan penghapusan makna hidup itu sendiri.

Subjektivitas Absolut dan Kepercayaan Langsung (Glaube)

Sebagai tanggapan terhadap krisis yang ia lihat dalam filsafat rasionalis, Jacobi mengajukan gagasan tentang "subjektivitas absolut" dan "kepercayaan langsung" (Glaube). Baginya, satu-satunya cara untuk menyelamatkan kebebasan dan martabat manusia dari determinisme rasional adalah dengan kembali kepada apa yang ia sebut sebagai "kepercayaan langsung" terhadap eksistensi dan pengalaman subyektif yang mendasar.

Kepercayaan ini bukanlah hasil dari penalaran atau argumentasi filosofis, melainkan bentuk keyakinan yang lebih mendalam dan primal, yang berasal dari kesadaran langsung akan eksistensi diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Menurut Jacobi, ini adalah inti dari subjektivitas absolut: kesadaran akan diri sebagai entitas bebas yang tidak dapat direduksi menjadi bagian dari sistem rasional atau alam.

Di sini, Jacobi menentang tradisi besar filsafat modern yang menekankan penalaran sebagai jalan menuju pengetahuan. Ia percaya bahwa ada batasan yang tak dapat dilalui oleh akal budi, dan bahwa upaya untuk memahaminya melalui penalaran hanya akan membawa kita pada ketidakpastian dan skeptisisme.

Hubungan dengan Filsafat Kant

Jacobi sangat dipengaruhi oleh Immanuel Kant, meskipun pada akhirnya ia menempuh jalannya sendiri yang berbeda. Bagi Kant, filsafat harus menyelidiki batas-batas akal budi dan mendefinisikan ruang lingkupnya. Kant berpendapat bahwa ada aspek dari realitas yang tak dapat diketahui oleh akal manusia, yang ia sebut sebagai noumenon, tetapi tetap menganggap bahwa pengetahuan kita tentang dunia fenomenal harus tetap didasarkan pada prinsip-prinsip rasional.

Jacobi, sebaliknya, berpikir bahwa bahkan pengetahuan rasional tentang dunia fenomenal pun pada akhirnya akan runtuh ke dalam skeptisisme dan nihilisme. Baginya, solusi untuk dilema ini adalah menerima keterbatasan akal budi dan mengakui pentingnya kepercayaan langsung sebagai dasar pengetahuan dan makna.

Posisi Jacobi ini mencerminkan keyakinannya bahwa pengetahuan tentang dunia dan Tuhan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh filsafat spekulatif. Dalam hal ini, Jacobi secara eksplisit menolak sistem filosofis yang terlalu mengandalkan rasionalisme dan menekankan pentingnya pengalaman subjektif dan keyakinan pribadi dalam hubungan dengan Tuhan dan realitas.

Pengaruh pada Romantisisme dan Filsafat Eksistensialisme

Pemikiran Jacobi memiliki dampak besar pada gerakan Romantisisme Jerman, yang berkembang pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Para pemikir Romantis, seperti Friedrich Schlegel dan Novalis, mengambil inspirasi dari Jacobi dalam kritik mereka terhadap rasionalisme dan penekanan mereka pada perasaan, imajinasi, dan pengalaman subjektif sebagai sumber pengetahuan dan kreativitas.

Lebih jauh lagi, pengaruh Jacobi dapat dilihat dalam perkembangan filsafat eksistensialisme di abad ke-19 dan ke-20. Pemikir eksistensialis seperti Sren Kierkegaard mengambil elemen-elemen dari Jacobi, terutama dalam hal penolakan terhadap sistem rasional dan pengakuan akan kepercayaan dan pengalaman pribadi sebagai dasar eksistensi. Kierkegaard, seperti Jacobi, menekankan pentingnya lompatan iman dan pengalaman individu dalam menghadapi kenyataan hidup yang penuh ketidakpastian.

Kesimpulan

Friedrich Heinrich Jacobi adalah sosok kunci dalam sejarah filsafat Jerman yang menantang dominasi rasionalisme dan menawarkan pandangan alternatif yang menekankan subjektivitas absolut dan kepercayaan langsung. Kritiknya terhadap determinisme rasionalis dan panteisme, serta penekanannya pada kebebasan individu dan pengalaman subyektif, membuka jalan bagi filsafat Romantisisme dan eksistensialisme.

Dalam era di mana rasionalitas sering dianggap sebagai jalan tunggal menuju pengetahuan, Jacobi mengingatkan kita bahwa ada dimensi lain dari pengalaman manusia yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh akal budi. Subjektivitas, dengan segala kerumitannya, tetap menjadi elemen penting dalam pencarian kita akan makna dan kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun