Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melacak Jejak Epistemologis dan Sintetis dari Pemikiran Soekarno dan Gus Dur

21 Agustus 2024   04:29 Diperbarui: 21 Agustus 2024   04:34 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran dua tokoh besar Indonesia, Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan pilar penting dalam sejarah pemikiran politik dan kebangsaan Indonesia. Keduanya tidak hanya memainkan peran krusial dalam perjalanan bangsa, tetapi juga menawarkan kerangka epistemologis dan sintesis pemikiran yang kompleks, yang hingga saat ini masih relevan dalam berbagai diskursus intelektual di Indonesia. Meski berasal dari latar belakang dan konteks sejarah yang berbeda, baik Soekarno maupun Gus Dur memiliki kesamaan dalam memperjuangkan pluralisme, kemanusiaan, dan keadilan sosial. 

### Jejak Epistemologis Pemikiran Soekarno

Soekarno, yang dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan Presiden pertama, memiliki basis epistemologis yang kuat dalam filsafat politik. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh berbagai ideologi, mulai dari nasionalisme, Marxisme, hingga Islam. Dalam berbagai tulisannya, seperti *Di Bawah Bendera Revolusi*, Soekarno menunjukkan pemahaman mendalam tentang sejarah pergerakan nasional dan dinamika kekuatan kolonialisme. Ia melihat kolonialisme sebagai masalah struktural yang harus dilawan dengan kesadaran nasional yang kuat, yang ia wujudkan dalam konsep *Marhaenisme*---ideologi yang menekankan pada pembebasan kaum marhaen atau rakyat kecil dari penindasan ekonomi dan politik.

Pemikiran epistemologis Soekarno berakar pada keyakinannya bahwa Indonesia harus membangun identitas nasional yang mandiri, tanpa mengabaikan pengaruh dari luar. Ia menolak imperialisme Barat sekaligus mengkritik kapitalisme yang dianggapnya eksploitatif. Soekarno juga menggabungkan pemikiran sosialis dengan nilai-nilai Islam, menciptakan sintesis yang ia sebut sebagai *Nasakom* (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Melalui *Nasakom*, Soekarno berusaha mempersatukan berbagai kekuatan politik dan ideologis di Indonesia dalam satu kesatuan perjuangan dibawah lindungan Pancasila.

### Jejak Epistemologis Pemikiran Gus Dur

Gus Dur, sebagai tokoh ulama, intelektual, dan presiden keempat Indonesia, memiliki pendekatan yang berbeda namun tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan pluralisme. Pemikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh tradisi pesantren dan pengalaman hidupnya yang plural. Epistemologi Gus Dur bertumpu pada pemahaman Islam yang inklusif dan toleran, yang ia wujudkan dalam gagasan tentang *Islam Nusantara*---sebuah konsep yang menekankan harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal Indonesia.

Gus Dur juga dikenal sebagai pemikir yang progresif dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia. Ia memandang demokrasi sebagai instrumen penting untuk mencapai keadilan sosial dan kesetaraan. Dalam pandangan Gus Dur, Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga sebuah sistem etika yang harus membela hak-hak minoritas dan memperjuangkan keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Pemikirannya ini tercermin dalam kebijakan-kebijakannya saat menjadi presiden, di mana ia banyak memberi perhatian pada kelompok-kelompok minoritas, seperti Tionghoa, Kristen, dan kelompok-kelompok adat.

### Sintesis Pemikiran Soekarno dan Gus Dur

Meskipun Soekarno dan Gus Dur berangkat dari latar belakang dan konteks historis yang berbeda, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran keduanya, yakni komitmen terhadap keadilan sosial, pluralisme, dan kemanusiaan. Soekarno dengan *Marhaenisme*-nya dan Gus Dur dengan *Islam Nusantara*-nya, keduanya berupaya membangun fondasi bagi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.

Sintesis pemikiran keduanya dapat dilihat dalam upaya membangun negara yang berdaulat dan bebas dari intervensi asing, baik dalam bentuk kolonialisme fisik maupun hegemoni ekonomi global. Soekarno menekankan pentingnya kemandirian nasional dalam menghadapi dominasi asing, sementara Gus Dur menekankan pentingnya menghargai keberagaman dan membangun dialog antar budaya sebagai cara untuk memperkuat identitas nasional.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, pemikiran Soekarno dan Gus Dur menjadi landasan penting dalam merespons tantangan globalisasi, radikalisme, dan ketimpangan sosial. Pemikiran Soekarno yang menolak imperialisme dapat digunakan untuk menolak berbagai bentuk neokolonialisme yang terjadi saat ini, sementara pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan toleransi menjadi panduan dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dan suku di Indonesia.

### Relevansi Keduanya dalam Konteks Kekinian

Pemikiran Soekarno dan Gus Dur tetap relevan di tengah dinamika politik dan sosial Indonesia saat ini. Di era globalisasi yang ditandai dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi dan sosial, serta tantangan terhadap kedaulatan nasional, gagasan Soekarno tentang kemandirian dan keadilan sosial sangat penting untuk dikaji ulang. Sementara itu, di tengah meningkatnya intoleransi dan konflik berbasis identitas, pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan humanisme memberikan inspirasi untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.

Kedua tokoh ini juga memberikan pelajaran penting tentang bagaimana pemikiran yang kuat dan mendalam dapat mempengaruhi kebijakan publik dan arah pembangunan nasional. Soekarno dan Gus Dur, dengan segala kompleksitas dan kontroversi dalam perjalanan hidup mereka, tetap menjadi figur sentral dalam sejarah pemikiran Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan sosial, pluralisme, dan kedaulatan nasional bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat mungkin untuk dicapai melalui pemikiran yang kritis dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

### Penutup

Mengenang pemikiran Soekarno dan Gus Dur bukan hanya soal meromantisasi masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dari ide-ide besar mereka untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jejak epistemologis dan sintesis pemikiran mereka menawarkan peta jalan bagi kita semua dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan, dan keberagaman sebagai pilar utama bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun