Merupakan sebuah rasa syukur yang sangat mendalam dalam menjalankan tugas mulia ini sebagai pendidik di daearah terdepan, terluar dan tertinggal untuk itu saya pun bisa menjalaninya dengan penuh suka cita dan merupakan sebuah kebanggaan untuk melayani mereka yang sangat membutuhkan khususnya dalam dunia pendidikan.Â
Tepat di tanggal 1 agustus 2014 setelah digembleng selama 2 minggu di Kopaskhas AU Lanud Sulaiman akhirnya saya dan teman-teman seperjuangan SM3T Angkatan 4 Kemenristekdikti diberangkatkan menuju Kab. Kupang, Provinsi NTT untuk menjalani pengabdian sebagai pendidik selama 1 tahun.Â
Terus terang saya iba, prihatin dan sedih dengan apa yang saya lihat sendiri bahwasanya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum memang belum merata di waktu itu, tak terkecuali di sektor Pendidikan, sebagai contoh sekolah tempat saya mengabdikan diri selama 1 tahun yaitu SMA Negeri 1 Amabi Oefeto itupun sebagian masih menggunakan atap "bebak" atau daun pohon lontar serta beralaskan tanah. Namun demikian, hal tersebut tidak menyurutkan spirit, keyakinan dan harapan saya dalam mengabdikan diri terhadap negara yang sangat kita cintai NKRI ini, terlebih mantan presiden Amerika John F. Kennedy pernah berkata "Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu".
Perasaan kagum saya rasakan baik terhadap siswa maupun masyarakat setempat, bagi siswa meskipun saat itu gedung dan fasilitas sekolah belum layak namun semangat untuk terus belajar tak pernah padam dari dalam diri mereka. Ini dapat dibuktikan dalam proses KBM sehari-hari, meskipun mereka telat untuk datang ke sekolah namun setiap harinya mereka tetap bersekolah, mereka telat bukan tanpa alasan tapi justru alasan mereka telat itulah yang membuat saya harus kembali bersyukur.Â
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak disana sebelum berangkat ke sekolah mereka harus membawa ternak sapi nya ke ladang dan berjualan sayuran lebih dulu, setelah selesai maka mereka akan berangkat menuju sekolah, belum lagi jarak dari rumah mereka yang bahkan mencapai jarak 4 KM dan harus mereka tempuh dengan berjalan kaki. Terlambat bukan alasan, semangat para siswa itulah alasan yang membuat saya tetap tersenyum menyambut kedatangan mereka.
Saya sangat bahagia pernah merasakan mengajar dan melihat indahnya daerah terdepan, terluar dan tertinggal serta merasakan nikmatnya tinggal di daerah yang berbeda secara budaya, Bahasa dan agama. Kita tahu bahwa NTT adalah penduduk dengan mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katholik, namun bagi saya tidak ada masalah berada di lingkungan yang berbeda, justru perbedaan tersebut semakin membuat saya menyadari bahwa sebagai makhluk sosial kita harus mampu berinteraksi, menghargai dan menghormati orang lain dalam kehidupan bermasyarakat seperti yang terdapat dalam buku Ilmu Sosial & Budaya Dasar (2021) oleh Herimanto Winarno, Aristoteles mengatakan bahwa "manusia sebagai makhluk hidup yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat".Â
Warga Amabi Oefeto adalah warga yang baik, setiap kali kita bertemu mereka selalu menanyakan "Pak guru su makan ko", "Pak guru mari minum kopi dolo". Pertanyaan dan ajakan yang ringan namun membuat kita semakin akrab dengan masyarakat setempat. Saya juga masih ingat betul bagaimana toleransi masyarakat di NTT itu sangat tinggi.Â
Sebagai muslim saya tak pernah merasa kesulitan dalam hal makan dan ibadah, ketika saya  datang ke acara pesta pernikahan pun merka sudah memisahkan makanan yang halal dan non halal, untuk alat masaknyapun mereka bedakan, bagi masyarakat disana hal ini bertujuan supaya saudara muslim tetap dapat makan bersama meski dengan menu yang berbeda, bahkan saya merasakan menyembelih ayam dan domba sendiri, warga berujar apabila saudara muslim yang memotong ayam dan kambing sendiri maka kehalalannya akan terjaga, sungguh toleransi yang begitu indah.Â
Selain itu dalam melaksanakan ibadah sholat jumat saya tak pernah kesulitan karena orang-orang baik dari Amabi Oefeto selalu meminjamkan saya sepeda motor sebagai sarana untuk digunakan beribadah ke masjid yang jaraknya lebih kurang 2 jam perjalanan dari tempat pengabdian saya. Masyarakat di sana pun selalu bahu membahu apabila ada saudara yang berbeda agama akan merayakan hari rayanya, karena pada hakikatnya menolong adalah bentuk daripada perilaku pro sosial, Perilaku menolong sesungguhnya merupakan tindakan atau perilaku yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Sarwono & Meinarno, 2009). Tak pernah ada konflik antar agama sehingga tepat kiranya terdapat gong perdamaian yang pernah di sahkan oleh Presiden SBY tahun 2011 silam. Beta rindu deng kupang, kalo nanti tuhan beri beta umur Panjang beta harap beta bisa pi datang ke kupang lai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H