Mohon tunggu...
Jurnal Muda
Jurnal Muda Mohon Tunggu... Lainnya - Kumpulan catatan,beragam bentuknya

Sekedar mengambil,mengumpulkan,menyimpulkan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Beberapa Catatan Setelah Punya Max Havelaar

12 September 2022   08:39 Diperbarui: 12 September 2022   08:42 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari setelah paket datang

Saya baru beli buku berjudul Max Havelaar karya Multatuli. Karya ini kata orang penting untuk dibaca. Bahkan Pramoedya Ananta Toer bilang kalau buku itu membunuh kolonialisme. Ini bukan tulisan tentang isi buku atau pendapat saya tentang buku itu. Karena jujur saja, baru sampai bab 4 saya membaca. Lalu kenapa menulis??. Ya pengen aja, siapa tahu ada yang mau ikutan baca, nggak ada yang rugi juga kan?. Sama seperti kalian yang sudah baca, saya juga banyak dikejutkan dengan buku ini, karena cara berceritanya agak lain. Maaf saya tidak bisa lebih jauh karena nanti kesannya sok tahu, apalagi belum selesai baca. Tapi nanti kalau sudah selesai saya akan tulis lebih dalam tentang buku ini, doakan supaya saya terhindar dari lupa.

Setelah membaca Jejak Langkah

Baca juga: Mbah Dalang

Apa lagi ya, tunggu dulu. Nah kalau gini kan lebih enak, sambil minum kopi. Lanjut ya. Pertama kali saya mengetahui nama Multatuli ketika SD kelas.. kelas berapa ya?. Lupa. Pokoknya ketika membaca buku sejarah. Tapi waktu itu saya agak mempertanyakan kenapa seorang belanda mesti diangung-agungkan?. Dan jawaban dari pertanyaan itu satu per satu datang ketika saya banyak membaca. Kalian tahu juga kan kalau RA Kartini juga penggila karya Multatuli ini, hingga berkali-kali ibu kita ini menghabiskan buku Max Havelaar. Kalian mungkin ada yang relate? 

Kalau saya sendiri sangat relate dengan fenomena RA Kartini dengan buku Max Havelaar itu. Beberapa buku seperti: Cantik Itu Luka, Jejak Langkah, Hujan Bulan Juni, saya habiskan berkali-kali sebagai selingan setelah membaca buku yang memusingkan kepala. Gini, setiap hari kan pikiran kita berkembang, jadi mengulangi buku yang sama tidak akan mengulangi apa yang kita dapat dari buku itu. Ini pendapat saya. Kalau kalian beda, berarti ada dua kemungkinan. Kalian sudah level tinggi atau patut curiga jangan-jangan stagnan.

Ketika mendengarkan lagu Pidi Baiq

Buku Max Havelaar belum saya sentuh lagi. Bukan tidak menarik, tapi belum ada kemauan, dan tidak baik kalau dipaksakan, kan bukan jaman Siti Nurbaya. Saya sedikit sibuk baca buku Drunken Molen. Cara berceritanya agak lain, langsung memikat di judul cerita pertama. Suatu pengalaman menarik menenurut saya, karena bisa menemukan hal yang lebih baru, dari yang kemarin saya anggap baru. Penyegaran otak, supaya lebih banyak opsi untuk menyatakan pendapat. Kemarin dulu saya juga baca Rintik Sedu, dan siapa lagi ya. 

Pokoknya yang saya tidak begitu suka. Tapi jangan salah sangka, karya yang saya kurang suka, sebenarnya saya sukai karena membuat saya berfikir. Kenapa nggak suka?, kenapa orang lain suka?, kamu mempersempit referensi, kan yang dibahas relatif sama cuma cara menyampaikannya agak lain, itu juga sangat dipengaruhi pengetahuan si penulis. Cukup, jangan banyak-banyak nanti catatan ini cuma penuh dengan isi kepala yang liar.

Tiga catatan aja ya. Sisanya saya lampirkan di ulasan tentang buku Max Havelaar, nanti setelah rampung membaca. Cerpen??. Jurnal Muda belum bisa bikin dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun