Bulan kemarin saya membeli buku novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Sekedar ingin tahu karena katanya buku ini laku keras.Â
Saya akrab dengan puisi SDD, tapi kalau novelnya saya belum pernah baca. Pernah suatu waktu menemukan antologi cerpen Kompas dan nama Sapardi Djoko Damono ada disitu.Â
Kalau tidak salah ada 5 cerpen, tapi hanya satu yang saya ingat berjudul: "Wartawan Itu Menunggu Pengadilan Terakhir." Saya juga heran dengan cerpen SDD, karena lebih mirip puisi, ya walaupun puisi juga cerita.Â
Akhirnya buku itu saya tutup karena sibuk membandingkan puisi dan cerpen.
Terlepas dari itu, buku novel SDD ini memberi saya pengertian baru mengenai cara bercerita, sama seperti membaca Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan.
SDD saya bayangkan sebagai seorang kakek yang bercerita kepada cucunya, dan ditengah cerita ketiduran atau bilang "besok lagi ya." Membaca Hujan Bulan Juni, saya merasa pada bagian awal ditemani oleh SDD tapi lama-lama saya merasa sendiri. Ruang dan waktu saya sibuk berjalan-jalan di alur buatannya.
"Bagaimana mungkin seorang memiliki keinginan untuk mengurai benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri."
Petikan bab 2 yang menurut saya menarik karena SDD seolah tidak mau melepas kita begitu saja. SDD adalah kakek yang menepati janji kalau bilang besuk ceritanya akan dilanjut.Â
Ada dua momen di bab ini dimana SDD menangkap saya yang telah terbang tinggi. Satunya berbunyi begini:
"Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian piggir jalan."
Masih banyak sebetulnya, tapi anehnya SDD tidak menggunakan tanda baca, mungkin senganja bikin saya kehabisan nafas atau entahlah. Yang jelas akhir narasi ini adalah: "Bahwa kasih sayang beriman pada senyap."
Buku ini benar-benar membuat saya berpikir ulang mengenai cara bercerita. Ternyata narasi yang enak dibaca saja belum cukup.Â
Ada unsur seperti halnya film, biasanya beberapa scene akan menampakkan pemandangan langit penuh burung atau suasana kota dari atas, dll. Artinya ada scene yang out of story tapi justru mendukung suasana ceritanya.Â
SDD di buku ini benar-benar repot, selain jadi kakek yang menepati janji ia juga menuntun saya menyelami perasaan setiap tokohnya.Â
Bahkan saya tidak berfikir alam saat membaca ini seperti cerita pada umumnya, yang punya perhatian pada latar. SDD malah selalu masuk pada ranah perasaan, yang buat bulu kuduk saya naik turun selama 135 halaman.
Ada hal aneh lagi, entah ada yang menyangka atau tidak, terbitan pertama buku ini tahun 2015. Tapi kenapa Pingkan dan Sarwono bisa kirim-kiriman foto selfie??, pakai WA lagi. Saya cari di internet tapi sia-sia.Â
Pada akhirnya kesimpulan saya adalah SDD merevisi beberapa bagian untuk penerbitan ulang buku ini.Â
Karena jadi aneh kalau tidak ada proses revisi dari naskah pertama.
Selain foto selfie dan WA ada juga koran. Jadi SDD selain kakek yang suka tidur atau bilang "besuk ya" dan kakek yang menepati janjinya, ia ternyata juga kakek yang hidup di dua dunia.
Mengenai cerita buku ini silahkan beli atau pinjam dan baca sendiri. Mungkin saya akan kasih ide ceritanya aja. Jadi ini kisah cinta beda agama dan beda asal muasal. Sarwono muslim, Pingkan kristen. Sarwono Jawa sosiologis maupun antropologis, sementara Pingkan Jawa-Sulawesi.Â
Mungkin SDD juga mau bicara tentang pluralisme di novel ini. Jadi dengan membaca Hujan Bulan Juni selain dapat kisah yang menarik, kalian juga akan mendapat cerita daerah dan budaya yang mungkin belum pernah kalian dapat sebelumnya.
Setangkai kagum buat mu
Sapardi Djoko Damono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H