Duduk sambil membolak-balik halaman buku memang ampuh untuk membunuh waktu.Â
Mataku jelalatan menyusuri kata demi kata, tapi sampai setengah buku hanya satu kalimat yang melekat "apa yang benar bukan siapa yang benar." Tak ada niat lagi untuk melanjutkan karena kalimat ini begitu mengganggu. Mungkin akan menjadi kalimat ke-sekian yang masuk buku harianku.
Rokok kuselamatkan dari kurungan, lalu kubakar dan membebaskannya untuk menyatu dengan udara. Setiap tarikan dan hembusan pelan kata itu masih terngiang. Seperti dulu ketika ada kata "usaha tak akan menghianati hasil," lalu dengan sedikit meringis ku jawab: paling hasil yang menghianati usaha, lalu ada kata "buku jendela ilmu" yang memancing pertanyaanku: berarti mempersempit dong??. Mbok sekalian gapura ilmu atau sabana ilmu atau cakrawala ilmu gitu lho.Â
Waktu terus melaju melumat rokokku, otak terus bekerja, tangan kiri iseng mengacak-acak kepala, dan temanku sudah duduk saja dengan raut muka cemas, seperti memendam entah ide atau protes seperti yang biasa ia lakukan.Â
Angin terus memainkan sekeliling, bunyi desis gesekan dan sapuan pelan membelai tubuh. Ya tak ada yang mengalahkan suasana menyambut malam di kedai kopi tempatku bekerja.Â
Sebelum ia bicara aku pergi menghampiri sound, menyalakannya, menyambungkan dengan handphone, lalu memutar lagu Kisah Dari Selatan Jakartanya White Shoes And The Couples Company. Makin syahdu suasana hingga ia dan aku menggelengkan kepala sambil memainkan pergelangan kaki mengikuti melodi yang memperlambat waktu.Â
Mulut kami tertutup, tak ada percakapan sampai budhe Sari menyelesaikan lagu. Temanku lalu menyodorkan novel Yasunari Kawabata "Rumah Perawan." Ya benar, terjemahan indonesia, karena kami baru belajar bahasa inggris. Aku tak berani berdiskusi karena baru sekilas membaca buku itu beberapa hari lalu. Temanku memakluminya dan nyerocos tentang cerita dalam buku itu. Ia membuatku berfantasi tentang perempuan, tapi dari cerita temanku, tak ada makna lain yang bisa ku ambil, selain gambaran geli mengenai gadis yang tidur sambil telanjang. Ia ijin pulang setelah puas dengan ceritanya.Â
Aku masih duduk, hari hampir gelap. Aku tak yakin dengan cerita pornonya, kayaknya ia salah ambil sudut pandang, tapi biarlah, toh orang bebas punya pendapat. Sudah jam 5, kedai bersiap untuk menyambut orang-orang, mungkin lusa aku baru bisa melanjutkan diskusi tentang buku itu. Kedai sudah siap, aku berharap ada gadis cantik malam ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H