sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia.
MediaPlatform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri, berinteraksi, dan membangun identitas digital.Â
Namun, fenomena seperti mencaci maki, flexing (pamer kekayaan), dan curhat (curahan hati) di media sosial menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap kesehatan mental dan dinamika sosial.
Mencaci Maki: Ekspresi Frustrasi atau Kurangnya Empati?
Perilaku mencaci maki di media sosial sering kali mencerminkan luapan emosi negatif yang tidak terkontrol.Â
Menurut pakar psikologi sosial, individu yang terlibat dalam perilaku ini mungkin mengalami masalah dengan self-esteem dan rasa aman dalam dirinya.Â
Mereka mencari kompensasi melalui perilaku agresif online untuk mendapatkan pengakuan atau merasa superior.Â
Selain itu, kurangnya empati dan anonimitas di dunia maya dapat mendorong individu untuk berperilaku kasar tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.Â
Hal ini dapat menciptakan lingkungan digital yang toksik dan mempengaruhi kesehatan mental baik pelaku maupun korban.
Flexing: Antara Pencarian Validasi dan Masalah Self-Esteem
Fenomena flexing atau pamer kekayaan di media sosial pun menjadi tren yang semakin marak.Â