Istilah Jale dalam profesi wartawan di Indonesia sering kali di dengar, dan menjadi dilema antara idealisme jurnalistik serta realitas lapangan.Â
Jale adalah kepanjangan dari jatah lelah, di mana wartawan menerima sejumlah uang dari narasumber sebagai kompensasi atas liputan yang dilakukan.Â
Istilah lain yang dikenal awam adalah uang amplop/uang transport, karena jale biasanya istilah wartawan.
Menurut dari penelitian Dewan Pers, fenomena ini sering kali muncul karena dua alasan utama: gaji yang tidak layak dari perusahaan media dan persepsi bahwa pemberian tersebut adalah hal biasa.
Definisi dan Praktik Jatah Lelah
Mengutip dari rmol.id, "jatah lelah" merujuk pada pemberian berupa uang atau fasilitas yang diterima wartawan setelah meliput.
Meski sering dianggap sebagai apresiasi, praktik ini berpotensi mengaburkan batas antara profesionalisme dan konflik kepentingan.
Ironi Antara Realita dan Fakta
Dilansir dari tempo.co, ada kasus di mana wartawan menerima ancaman karena meliput isu sensitif, seperti perjudian ilegal.Â
Hal ini menunjukkan bahwa wartawan tidak hanya berhadapan dengan tekanan ekonomi, tetapi juga risiko dalam menyampaikan fakta yang mengkritisi kepentingan tertentu.
Kode Etik dan Tantangan
Menurut Kode Etik Jurnalistik Indonesia, wartawan dilarang menerima suap atau pemberian yang dapat memengaruhi independensi mereka.Â
Mengutip dari inside.kompas.com, Pasal 6 dengan jelas menyatakan larangan terhadap penyalahgunaan profesi.Â
Namun, tekanan ekonomi sering kali membuat wartawan mencari cara untuk menambah penghasilan, termasuk menerima "jatah lelah".
Dampak Terhadap Berita
Praktik ini sebenarnya memiliki konsekuensi serius.
Dilansir dari blog.tempoinstitute.com, berita yang disampaikan berpotensi tidak berimbang atau bahkan bias, karena wartawan merasa terikat untuk tidak mengkritik narasumber yang memberi "jatah lelah."Â
Akibatnya, kualitas berita yang diterima publik menjadi diragukan karena selain nilai faktualnya hilang juga berpotensi sebagai framing semata.
Upaya Menghapus Praktik Jatah Lelah
Mengutip dari merdeka.com, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendukung penghapusan "jatah lelah" dan mendorong perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan wartawan.Â
AJI juga mengimbau pemerintah dan instansi lain untuk berhenti memberikan amplop kepada wartawan, guna menjaga independensi jurnalistik.
Praktik "jatah lelah" merupakan tantangan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia.
Dilansir dari hukumonline.com, pendidikan etika jurnalistik perlu terus ditingkatkan agar wartawan memahami dampak negatif praktik ini terhadap kredibilitas mereka.Â
Dengan kerja sama dari semua pihak, berita dapat kembali menjadi sumber informasi yang akurat dan independen, bukan sekadar komoditas dengan kepentingan tertentu.
Jale jangan dibiarkan dan dibiasakan namun pihak yang berkaitan tersebut juga harus menyadari bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H