Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Kenaikan PPN 12% : Beban atau Solusi?

24 Desember 2024   05:45 Diperbarui: 24 Desember 2024   05:45 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana kenaikan PPN 12% menjadi headlines berita di Republik ini dalam beberapa waktu terakhir.

Dan seperti biasa, selalu ada pro dan kontra mengiringi rencana kenaikan PPN 12% tersebut sehingga membuat guliran berita semakin ramai saja.

Sebelum membahas hal ini terlalu jauh, saya coba mempertanyakannya ke diri sendiri, apakah ada negara di dunia yang membebaskan rakyatnya dari pajak?

Dan ternyata di berbagai belahan dunia, ada beberapa negara yang tidak memungut pajak penghasilan dari rakyatnya. 

Dikutip dari berbagai sumber, negara-negara seperti Monako, Uni Emirat Arab, dan Brunei Darussalam, misalnya, memilih untuk mengandalkan sumber pendapatan lain seperti pariwisata, minyak, dan gas alam. 

Meskipun demikian, kondisi ini tidak sepenuhnya berarti negara-negara tersebut bebas pajak, karena mereka masih memungut pajak lain seperti pajak konsumsi atau properti. 

Hal ini menarik perhatian publik, terutama saat kebijakan pajak di Indonesia sedang menjadi sorotan.

Indonesia memiliki sistem perpajakan yang menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara. Salah satu jenis pajak yang paling berpengaruh adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Baru-baru ini, pemerintah merencanakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% sebagai bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 

Kebijakan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya mereka yang merasakan langsung dampaknya terhadap harga kebutuhan sehari-hari.

Alasan Kenaikan PPN

Pemerintah mengemukakan bahwa kenaikan tarif merupakan langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. 

Namun, justru dengan adanya rencana kenaikan tarif PPN tersebut terjadi polemik yang membuat beragam lapisan masyarakat mengkhawatirkannya.

Selama pandemi COVID-19, pendapatan negara mengalami penurunan tajam akibat perlambatan ekonomi, sementara belanja negara meningkat untuk menangani krisis kesehatan dan ekonomi. 

Jadi dengan menaikkan tarif PPN, pemerintah berharap dapat mengisi kekurangan tersebut dan mendanai berbagai program pembangunan.

Selain itu, kenaikan PPN diklaim sebagai upaya untuk menyelaraskan tarif pajak Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. 

Namun, banyak pihak mempertanyakan waktu pelaksanaan kebijakan ini, mengingat kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.

Dampak Bagi Masyarakat

Sebagai pajak yang dibebankan langsung pada konsumsi, kenaikan PPN akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Barang-barang kebutuhan pokok mungkin dikecualikan dari PPN, tetapi kenaikan tarif tetap memengaruhi harga berbagai barang dan jasa lainnya. 

Hal ini dikhawatirkan dapat melemahkan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.

Bagi para pelaku usaha, terutama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), kenaikan tarif PPN juga menjadi tantangan berat. 

Dengan turunnya daya beli, mereka berisiko kehilangan pelanggan dan pendapatan sehingga dampak ini dapat memengaruhi kestabilan ekonomi secara keseluruhan.

Janji Pemerintah dan Kritikan

Pemerintah berkomitmen untuk melindungi masyarakat miskin dari dampak kenaikan PPN dengan memberikan berbagai bantuan sosial. 

Namun, efektivitas program-program tersebut masih menjadi tanda tanya, terutama karena masalah distribusi bantuan yang tidak merata di masa lalu.

Kritik lainnya datang dari kalangan pengamat ekonomi yang menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada efisiensi anggaran dan pemberantasan korupsi daripada menaikkan tarif pajak. 

Menurut mereka, kebijakan ini dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih positif dibandingkan dengan mengandalkan kenaikan PPN.

Harapan Ke Depan

Dalam menghadapi polemik ini, rasanya pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih transparan dan mendetil kepada masyarakat tentang manfaat yang akan diperoleh dari kenaikan PPN. 

Selain itu, kebijakan ini harus diimbangi dengan langkah-langkah konkret untuk melindungi kelompok rentan dan mendorong pemulihan ekonomi.

Pajak memang menjadi elemen penting dalam pembangunan negara, tetapi kebijakan terkait pajak harus dirancang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyatnya. 

Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan kenaikan PPN 12% bisa menjadi solusi, bukan beban baru bagi masyarakat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun