Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Guru Nasional 2024: Jangan Jadi Guru, Nggak Enak, Benarkah Demikian?

25 November 2024   05:29 Diperbarui: 25 November 2024   17:13 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi Dimas Jayadinekat

Apabila dilihat dari susunan daftar tersebut, jika dikatakan cukup atau tidak cukup, tentu relatif. Namun, jika melihat pada kenyataannya, tentu apa yang mereka terima hanya sanggup membuat mereka hidup sederhana.

Terutama jika dilihat gaji guru honorer apalagi yang di daerah, sungguh miris.

Saya merasakan sulitnya menjadi "guru" setiap kali berbicara di depan kelas, terutama saat mengajar di sekolah, semisal ketika saya harus menyampaikan materi pengajaran film di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Anak-anak sekarang, sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi jika dibandingkan ketika saya masih sekolah. Teramat panjang jika ingin diuraikan satu persatu.

Namun saya sangat setuju perkataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Riset (Dikti Saintek), Stella Christie, di berbagai tayangan media sosial.

Menurutnya, dengan sistem pendidikan sebelumnya, anak-anak didik kita lemah pada sisi critical thinking sehingga tidak bisa memunculkan creative thinking mereka. Setidaknya itu informasi yang saya ingat darinya.

Dan itu benar, anak-anak sekarang, tentu tidak semua, tapi kebanyakan sikapnya pasif terhadap keilmuan yang diajarkan oleh pengajarnya.

Meski tentu ini akan disebabkan oleh banyak faktor, namun demikian yang saya rasakan. Terutama sikap perlawanan yang mereka tunjukkan jauh lebih berani.

Ironinya bagi kami, di saat kami ingin menegur keras, sudah ada larangan tidak boleh memarahi secara berlebihan apalagi hingga menimbulkan hukuman fisik seperti tamparan dan sebagainya.

Kita bisa melihat beragam kasus, betapa "lebay" nya para orang tua yang katanya menitipkan anaknya di sekolah untuk dididik.

Bagaimana mungkin bisa mengajarkan keilmuan jika sikap mereka cuek dan masa bodoh serta berani melawan dengan berkata seenaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun