Misalnya, ketika kita coba membandingkan antara drama korea dengan sinetron televisi yang panjang hingga berjilid-jilid itu, tentu kualitasnya terasa sangat berbeda.
Kedalaman cerita yang ditulis itu sangat bergantung dari  seberapa dalam penulis menciptakan tokoh utama dan tokoh lainnya di dalam cerita sehingga mereka "mengalirkan" plot atau alur ceritanya.
Cerita yang baik atau enak dinikmati adalah ketika sang tokoh utama terlihat bersusah payah meraih keinginan atau kebutuhannya dengan melewati konflik demi konflik.
Maka sang penulis harus memahami konsep penceritaan sejak awal, mulai dari ia menciptakan premis, logline, sinopsis, scene plot/treatment, hingga akhirnya ke skenario.
Menulis skenario prosesnya sepanjang itu, sehingga tingkat kesulitan menulis skenario akan berbeda dari judul ke judulnya.
Wajar, jika para penulis terkadang protes jika karyanya itu hanya dihargai secara materi dengan "ala kadarnya" saja. Padahal membuat cerita itu tidaklah mudah! Sehingga jangan heran jika tak sedikit  (bisa jadi banyak) yang menahan dongkol karena harus revisi hingga banyak draft karena merasa materi yang di dapat tak sesuai dengan kerja kerasnya.
Untuk menjadi skenario final draft sendiri, perbincangan serta kesamaan visi di antara penulis, sutradara dan produser menjadi sangat penting demi suksesnya film yang mereka produksi kelak.
Di luar faktor teknis tadi, yang tentu itu hanya sebagian kecil saja, ada faktor non teknis yang kadang menjadi pemikiran serius, yaitu ketika pekerjaan mereka hanyalah sebagai freelancer saja.
Ibaratnya, mereka bekerja hanya "Senin-kamis", sementara kebutuhan hidupnya harus ada setiap hari dan untuk memenuhi kebutuhannya tentu dengan tersedianya keuangan yang cukup.
Itulah asyiknya dan tidaknya, sesuai dari pengalaman saya selama ini. Masih minat jadi penulis skenario? saran saya, belajar dan bukalah hubungan kerja dengan memperbanyak relasi agar peluang mendapatkan pekerjaan Anda pun semakin besar.***