Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sumpah Pemuda: Cara Menjadi Bangsa Indonesia, Bukan Sekadar Rakyat Indonesia

28 Oktober 2024   13:30 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:43 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Oktober 2024 menjadi pengingat kita selaku bangsa Indonesia bahwa 96 tahun lalu, telah terjadi peristiwa besar yakni ketika para pemuda berkumpul dan menyatakan Sumpah Pemuda.

Sumpah pemuda adalah tekad besar dari para anak-anak muda di masa itu karena "resah" dengan keadaan di saat itu, hingga terucaplah untaian kalimat yang bukan saja layak dikenang tapi bisa menjadi motivasi sepanjang zaman.

Sekadar mengingatkan, terutama bagi mereka yang saat ini menyatakan dirinya sebagai generasi muda bangsa Indonesia. Inilah bunyi teks Sumpah Pemuda tersebut:

"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Spirit itulah yang tertanam di keluarga saya, terutama sebuah pemahaman yang terus didengungkan oleh Papa saya, yaitu agar saya senantiasa menjadi "Bangsa Indonesia" bukan sekadar "Rakyat Indonesia".

Menurut beliau, pemahaman kebangsaan itulah yang bisa menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam perjalanan saya berkehidupan yang sudah menjelang lima puluh tahun ini, "doktrin" Papa itu sedemikian menancap dan sejalan dengan semangat para pemuda di era terucapnya Sumpah Pemuda tersebut.

Secara pribadi, ada perasaan miris, bukan lagi sekadar kesedihan, ketika melihat tayangan video pendek yang sangat viral di media sosial, sebuah sosial eksperimen yang mirisnya malah mempertontonkan "kebodohan" generasi penerus kita.

Anak-anak sekolah di wawancara secara acak tentang banyak pertanyaan yang sebenarnya bersifat pengetahuan umum, namun mereka tak mampu menjawabnya.

Ada pertanyaan yang sangat membuat saya terpukul, yaitu ketika ditanyakan Jakarta berada di provinsi mana, mereka tak tahu dan beberapa menjawab dengan canda tanpa menganggapnya sebagai masalah.

Sebelumnya, saya pun pernah iseng bertanya kepada anak-anak SD yang berada di sekitar, tentang Pancasila, saya minta mereka untuk menyebutkan dan hasilnya berantakan. Rata-rata di sila ke-4, mereka menyebutkan dengan kacau.

Begitupun ketika melihat secara umum, ketika anak-anak gen z dan gen alpha sangat jauh dengan pemahaman kebangsaan, bahkan kepedulian terhadap lingkungannya.

Tidak semua, namun banyak yang menjadi begitu apatis dan sangat individualistis, ego mereka pun sangat luar biasa, maunya serba mudah dan dituruti yang jika itu tak terjadi mereka akan merasa frustasi.

Namun ada setitik pencerahan terbersit ketika Presiden Prabowo Subianto memerintahkan para jajaran menteri di kabinetnya untuk melakukan konsolidasi di lembah Tidar, Jawa Tengah.

Dari berbagai media saya menangkap pesan besar dari Presiden ke-8 ini, bahwa menjaga persatuan dan kesatuan sangatlah penting, terutama dengan menanamkan spirit kebangsaan dan cinta tanah air.

Sepertinya belum terlambat bagi kita untuk berubah, meski sudah terjadi "kekacauan" sistemik di negeri ini.

Indonesia tidak hanya besar dari luas wilayahnya, tapi juga sejarahnya serta Sumber daya alamnya. Kita adalah raksasa besar yang sedang tertidur panjang dan sekaranglah saatnya bangkit dan bergerak untuk menunjukkan kebesaran itu.

Ketika Belanda melalui Perusahaan dagangnya yang bernama VOC datang menjajah, semua itu berawal dari kekayaan alam berupa rempah-rempah.

Dan bagaimana kabarnya kini rempah-rempah kita baik dari bahan baku ataupun produk-produk turunan darinya?

Begitupun dengan beras yang sempat impor, sehingga ketika Presiden ingin membuat kita untuk berswasembada, rasanya kita harus mendukung penuh.

Lupakanlah "dukung mendukung" di kala Pilpres, saatnya kita bersatu dan menjadi bangsa Indonesia seperti apa yang diamanatkan di dalam teks Sumpah Pemuda.*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun