Tanggal 28 Oktober 2024 menjadi pengingat kita selaku bangsa Indonesia bahwa 96 tahun lalu, telah terjadi peristiwa besar yakni ketika para pemuda berkumpul dan menyatakan Sumpah Pemuda.
Sumpah pemuda adalah tekad besar dari para anak-anak muda di masa itu karena "resah" dengan keadaan di saat itu, hingga terucaplah untaian kalimat yang bukan saja layak dikenang tapi bisa menjadi motivasi sepanjang zaman.
Sekadar mengingatkan, terutama bagi mereka yang saat ini menyatakan dirinya sebagai generasi muda bangsa Indonesia. Inilah bunyi teks Sumpah Pemuda tersebut:
"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Spirit itulah yang tertanam di keluarga saya, terutama sebuah pemahaman yang terus didengungkan oleh Papa saya, yaitu agar saya senantiasa menjadi "Bangsa Indonesia" bukan sekadar "Rakyat Indonesia".
Menurut beliau, pemahaman kebangsaan itulah yang bisa menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di dalam perjalanan saya berkehidupan yang sudah menjelang lima puluh tahun ini, "doktrin" Papa itu sedemikian menancap dan sejalan dengan semangat para pemuda di era terucapnya Sumpah Pemuda tersebut.
Secara pribadi, ada perasaan miris, bukan lagi sekadar kesedihan, ketika melihat tayangan video pendek yang sangat viral di media sosial, sebuah sosial eksperimen yang mirisnya malah mempertontonkan "kebodohan" generasi penerus kita.
Anak-anak sekolah di wawancara secara acak tentang banyak pertanyaan yang sebenarnya bersifat pengetahuan umum, namun mereka tak mampu menjawabnya.
Ada pertanyaan yang sangat membuat saya terpukul, yaitu ketika ditanyakan Jakarta berada di provinsi mana, mereka tak tahu dan beberapa menjawab dengan canda tanpa menganggapnya sebagai masalah.
Sebelumnya, saya pun pernah iseng bertanya kepada anak-anak SD yang berada di sekitar, tentang Pancasila, saya minta mereka untuk menyebutkan dan hasilnya berantakan. Rata-rata di sila ke-4, mereka menyebutkan dengan kacau.