Euforia penampilan Tim nasional (Timnas) PSSI masih sangat terasa, apalagi dengan banyaknya unggahan video serta komentar mengenainya di media sosial.
Timnas PSSI di era ini yang dilatih pelatih Shin Tae-yong (STY) memasuki era keemasan meski tetap ada pro kontra di dalam perjalanannya.
Namun, sejauh pengamatan saya, pro kontra yang ditimbulkan bukan dari sosok serta cara STY melatih, tapi lebih kepada apa yang dihasilkan olehnya.
Lho kok begitu? Ya, memang demikian faktanya. Bagi saya ini merupakan sebuah konsekuensi era demokrasi dan keterbukaan, dimana setiap orang bebas berpendapat serta menyatakan aspirasinya dalam beragam bentuk.
Bagi yang pro rasanya tidak perlu pembahasan mendalam, meskipun untuk yang kontra bukan berarti juga harus dibenci ataupun dimusuhi.
Di artikel sebelumnya yang bisa dilihat di sini, saya menjelaskan kemungkinan untuk "meniru" cara pembinaan yang dilakukan STY dan Erick Tohir selaku Ketua Umum PSSI kali ini.
Banyak yang gagal paham bahwa kondisi rekrutmen pemain naturalisasi ini merupakan sebuah cara singkat untuk "menggagalkan" pembinaan sepakbola di tanah air.
Menurut mereka, seperti Towell, Pieter F Gontha, dan terakhir bahkan seorang Rocky Gerung, hal yang telah dilakukan dan membuahkan hasil itu bukanlah sebuah bentuk nasionalisme serta malah akan menjadi blunder bagi perkembangan sepakbola kita.
Sepertinya, kita perlu kembali memahami kondisi yang terjadi mengenai masalah "keturunan" ini, terutama mengenai makna naturalisasi serta apakah yang sebenarnya dilakukan oleh PSSI dan STY itu?
1. Full Blood
Pemain yang lahir dari bapak/ibu asal Indonesia dan memiliki kakek nenek yang juga berasal dari Indonesia sehingga sudah menyandang status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) sejak lahir. Contoh: Marselino Ferdinand, Rizky Ridho