Di tahun 2011 saya sedang kesal dengan negara ini dan kemudian menulis sebuah kisah Satir di catatan Facebook, yang kemudian saya bagikan ke sebuah Grup bernama Tali Sastra.
Saya pun terkejut ketika tak lama kemudian seorang redaktur dan jurnalis senior menyapa untuk kemudian menawari menulis di tabloidnya yang isinya sebagian besar Satir politik.
Kemudian sampai tahun 2013 awal saya menulis rubrik bertajuk Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan setelah itu diteruskan pindah ke Harian Terbit.
Dan yang membuat saya tersanjung ialah perkataan sang Pemimpin Redaksi dan Pendiri tabloid, almarhum bapak M. Djoko Yuwono, yang dengan gamblang menulis status di facebook memuji, begitupun ketika bertemu, ia mengatakan bahwa saya memiliki gaya penulisan Satir yang kuat.
Wallahu a'lam bishawab. Saya tak menganggap itu pujian, semua saya lakukan karena memang menyukainya hingga kemudian pada akhirnya justru mendalami apa itu satir.
Namun, dengan berkembangnya media sosial serta begitu riuhnya dinamika politik di tanah air, status bernada satir makin banyak digunakan.
Bahkan, jujur saja, menurut pendapat saya, banyak yang tidak memahami satir karena yang dituliskan adalah hal-hal sarkasme, terkadang Kenthir serta minimal nyinyir.
Kenthir sendiri merupakan diksi dari bahasa Jawa yang berarti gila atau tidak waras. Banyak komentar serta status yang ditulis lebih kearah "kegilaan" atau ketidakwarasan dalam berpikir.
Minimal nyinyir, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai cerewet, suka mengkritik atau berkata sinis.
Sementara, apa yang saya tulis di dalam rubrik Ketoprak Politik merupakan sebuah parodi dari situasi negara ini, tanpa nyinyir apalagi kenthir.
Lantas, seperti apakah gaya bahasa satir itu?
Menurut Dr. Phillip Irving Mitchell yang dikutip dari laman Dallas Baptist University, Satir memiliki ciri dan karakteristik yang jelas serta berbeda dengan sarkasme.
Dan inilah ciri serta karakteristik Satir menurut Mitchell:
- Inti dari satir adalah reformasi etika. Satir menyerang lembaga atau individu yang dianggap korup oleh satiris.
- Ia berfungsi membuat kejahatan menjadi sesuatu yang menggelikan dan/atau tercela dan dengan demikian mendatangkan tekanan sosial bagi mereka yang masih melakukan kesalahan.
- Ia berupaya melakukan reformasi dalam perilaku publik, meningkatkan standar audiensnya, atau setidaknya menjadi peringatan bagi budaya yang korup.
- Satir sering kali tersirat dan mengasumsikan pembaca dapat menangkap petunjuk moralnya. Satir bukanlah khotbah.
- Satir secara umum menyerang tipe orang, tepatnya orang bodoh, orang kasar, orang pezina, orang sombong, ketimbang orang tertentu (sosok orangnya).
- Jika memang menyerang beberapa orang berdasarkan nama, alih-alih berharap untuk mereformasi orang-orang tersebut, ia berupaya untuk memperingatkan publik agar tidak menyetujui mereka.
- Satir bersifat jenaka, ironis, dan sering kali dilebih-lebihkan. Satir menggunakan hal-hal ekstrem untuk menyadarkan pembacanya akan bahaya etika dan spiritualnya.
- Kadang-kadang jika penulis satir berada dalam bahaya karena serangannya, ambiguitas, sindiran, dan pernyataan yang meremehkan dapat digunakan untuk membantu melindungi penulisnya.
Jenis-jenis Satir:
- Horatian  (dinamai menurut Horace): Bentuk satir yang lembut dan simpatik, di mana subjeknya diolok-olok dengan sedikit humor yang menarik. Bentuk satir ini cenderung meminta orang untuk menertawakan diri mereka sendiri dan juga para pelakunya.Â
- Juvenalian  (dinamai berdasarkan Juvenal): Bentuk satir yang lebih kasar dan pahit, di mana subjeknya menjadi sasaran penghinaan dan kutukan. Bentuk satir ini lebih menghakimi, meminta penonton untuk menanggapi dengan kemarahan terhadap peristiwa yang digambarkannya.Â
- Menippean  (dinamai Menippus): Satir yang kacau dan sering kali tak berbentuk yang menyindir struktur dunia serta pokok bahasannya. Satir ini cenderung mencampur genre, meniadakan kategori, dan sengaja mengejek segalanya. Sasaran pastinya sering kali sulit ditemukan karena tampaknya menyerang segalanya, sering kali mencakup keasyikan dengan disfungsi seksual dan cairan tubuh.Â
Mikhail Bakhtin berpendapat bahwa sindiran semacam itu pada dasarnya bersifat dialogis. Hal ini menunjukkan bahwa ada suara-suara yang bersaing dalam teks yang menawarkan dialog atas posisi dan nilai-nilai teks tersebut.Â
Teks semacam itu memiliki semacam "kelebihan pengarang" di mana suara-suara dalam sebuah karya dapat mengalahkan segala kemungkinan intensionalitas pengarang.Â
Alih-alih relativisme lengkap (di mana tidak ada makna akhir yang dapat diputuskan) atau sistem final (di mana hanya satu makna yang dapat diturunkan), Bakhtin berpendapat untuk negosiasi berkelanjutan antara suara-suara yang tidak akan pernah dapat ditutup secara tuntas.
 Jujur, pertama kali dibilang memiliki gaya bahasa satir, saya sempat heran, meski memang bermaksud menulis satir, tapi baru setelahnya saya mempelajari betul tentang gaya penulisan satir tersebut.
Dan ternyata Satir kini telah menjadi sebuah "jalan ninja" bagi saya, habisnya asyik sih...***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI