Satir di catatan Facebook, yang kemudian saya bagikan ke sebuah Grup bernama Tali Sastra.
Di tahun 2011 saya sedang kesal dengan negara ini dan kemudian menulis sebuah kisahSaya pun terkejut ketika tak lama kemudian seorang redaktur dan jurnalis senior menyapa untuk kemudian menawari menulis di tabloidnya yang isinya sebagian besar Satir politik.
Kemudian sampai tahun 2013 awal saya menulis rubrik bertajuk Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan setelah itu diteruskan pindah ke Harian Terbit.
Dan yang membuat saya tersanjung ialah perkataan sang Pemimpin Redaksi dan Pendiri tabloid, almarhum bapak M. Djoko Yuwono, yang dengan gamblang menulis status di facebook memuji, begitupun ketika bertemu, ia mengatakan bahwa saya memiliki gaya penulisan Satir yang kuat.
Wallahu a'lam bishawab. Saya tak menganggap itu pujian, semua saya lakukan karena memang menyukainya hingga kemudian pada akhirnya justru mendalami apa itu satir.
Namun, dengan berkembangnya media sosial serta begitu riuhnya dinamika politik di tanah air, status bernada satir makin banyak digunakan.
Bahkan, jujur saja, menurut pendapat saya, banyak yang tidak memahami satir karena yang dituliskan adalah hal-hal sarkasme, terkadang Kenthir serta minimal nyinyir.
Kenthir sendiri merupakan diksi dari bahasa Jawa yang berarti gila atau tidak waras. Banyak komentar serta status yang ditulis lebih kearah "kegilaan" atau ketidakwarasan dalam berpikir.
Minimal nyinyir, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai cerewet, suka mengkritik atau berkata sinis.
Sementara, apa yang saya tulis di dalam rubrik Ketoprak Politik merupakan sebuah parodi dari situasi negara ini, tanpa nyinyir apalagi kenthir.
Lantas, seperti apakah gaya bahasa satir itu?