Mohon tunggu...
Dimas
Dimas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Film Eksil: Terenyah di Negeri Orang, Terasing di Negeri Sendiri

30 Mei 2024   11:30 Diperbarui: 30 Mei 2024   11:37 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saat pertama menonton Trailer film ini yang rilis di kanal youtube, Saya terenyuh dengan perasaan yang timbul ketika mengetahui peristiwa G30S yang selama ini kita ketahui sebagai catatan sejarah kelam bangsa ini ternyata juga memiliki dampak yang luar biasa bagi warga negara Indonesia di luar negeri. Rasa-rasanya tak pernah sebelumnya sekalipun terbayangkan oleh Saya bahwa akan ada saat dimana Saya tidak dibolehkan pulang ke rumah sendiri. Film dokumenter karya Lola Amaria ini membuka kacamata baru bagi publik dalam melihat dampak yang diberikan oleh peristiwa G30S beserta penumpasan antek-antek PKI maupun beberapa dari mereka yang dekat dengan Presiden Soekarno. Film ini menceritakan bagaimana pengalaman yang dirasakan para mahasiswa yang dikirimkan Presiden Soekarno untuk belajar di Soviet (kini Rusia) dan China setelah peristiwa G30S terjadi.

Setelah G30S, rentetan aksi demonstrasi dan tuntutan rakyat dimanifestasikan dalam Tritura (tiga tuntutan rakyat) yang berisi tuntutan kepada pemerintah pada saat itu untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, membersihkan kabinet dwikora dari unsur PKI, serta menurunkan harga pangan. Disusul dengan adanya isu penerbitan surat perintah sebelas maret (supersemar) yang memberikan Soeharto mandat untuk mengambil alih komando dalam rangka penertiban keamanan negara. Dengan kondisi tersebut posisi dominan pemerintahan telah beralih tangan kepada Soeharto dan operasi-operasi penumpasan PKI hingga ke akarnya mulai digaungkan. PKI dan komunisme dianggap sebagai musuh negara yang berarti eks anggota PKI beserta semua orang yang berhubungan dengan PKI pun dianggap demikian. Tidak hanya itu, kita juga mengenal adanya istilah desoekarnoisasi untuk melemahkan Soekarno dan simpatisannya agar tidak melakukan pemberontakan kembali kepada pemerintahan yang baru.

Dampaknya, program pengiriman mahasiswa untuk belajar ke luar negeri pada masa pemerintahan Presiden Soekarno diberhentikan dan mahasiswa yang masih berada di luar negeri tidak diperbolehkan kembali ke Tanah Air karena khawatir menjadi ancaman dan membawa kembali ajaran revolusioner dari negara-negara komunis. Oleh karenanya, Nasib para terasing ini (eksil) seakan digantungkan oleh pemerintah sendiri. Dalam situasi yang ideal, disaat masa studi mereka sudah habis maka seharusnya mereka dapat kembali ke Indonesia. Namun berbeda dengan kondisi saat itu yang memaksa mereka untuk tetap berada di luar negeri tanpa ada kepastian kapan mereka bisa dipulangkan. Beberapa dari para eksil ini memang baik secara langsung maupun tidak memiliki hubungan dengan PKI atau eks anggotanya. Seperti Asahan Aidit misalnya, beliau adalah adik dari D.N. Aidit yang merupakan pimpinan PKI dan dianggap sebagai inisiator Gerakan 30 September 1965 itu. Namun, tidak sedikit juga yang sama sekali tidak terlibat dan terhubung dengan PKI tetapi tetap menanggung penderitaan yang sama. Mereka bukan hanya tidak bisa pulang ke tanah air, tetapi juga dicabut kewarganegaraannya.

"Kalau tidak memiliki kewarganegaraan ya tidak bisa hidup". Seperti itulah kira-kira gambaran yang para eksil ini alami. Banyak yang akhirnya berpindah negara dan memutuskan mengambil kewarganegaraan lain. Namun, tidak sedikit juga yang tetap teguh pada NKRI dan memutuskan tetap setia pada pemerintahan Presiden Soekarno dan tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali. Miris rasanya menyadari bahwa eksistensi mereka yang jumlahnya ribuan itu tidak lagi diakui oleh negara mereka sendiri. Suatu realita yang menyakitkan mengetahui mereka terasing di negeri luar dan tidak dianggap di negeri sendiri.

Trauma kolektif terhadap PKI dan komunisme yang diciptakan oleh pemerintah orde baru melalui skenario pebersihan PKI serta penayangan film G30S pada 30 September setiap tahunnya berhasil mengkonstruksi pandangan masyarakat terhadap PKI dan komunis. Adalah hal yang dianggap wajar bagi pemerintah untuk memberantas PKI dari Indonesia meskipun mengesampingkan HAM dan hak hidup warga negaranya sendiri. Para Eksil terpaksa harus bertahan hidup di negeri nan jauh di sana dengan satu angan tertanam, pulang. Bagaimana seorang manusia dapat menikmati hidupnya ketika dipisahkan paksa dengan keluarganya bahkan tidak dapat menghadiri pemakaman kedua orang tuanya.

Dalam salah satu teori post-marxisme yang dikemukakan oleh Slavoj iek (2006). Dalam bukunya yang berjudul the parallax view tentang konsep psikoanalisis mengatakan bahwa kunci untuk mendekati nol derajat humanisasi dapat dilihat dalam gagasan Freudian tentang "death drive" atau dorongan kematian. Menurut Freud dorongan adalah rangsangan terhadap keseimbangan. Sedangkan dalam konteks iek dorongan adalah perusakan atas simetri yang memunculkan sesuatu dari ketiadaan. Kehidupan menurutnya akan bergerak menuju kekosongan dan kematian. Namun bukan makna kematian secara biologis, melainkan kehidupan dalam kekosongan itu. Dorongan kematian dipahami sebagai posisi untuk berada diluar kematian tersebut.  Keabadian hadir dari cara-cara psikoanalisis dalam siklus hidup dan mati. Menurut psikoanalisis, kehidupan manusia tidak pernah hanya sebatas hidup secara biologisnya saja. (Boyle, 2008:8) 

Premis dorongan kematian ini sangat berbeda dengan keinginan untuk mati "drive is not desire". Keinginan untuk mati diartikan secara harfiah sebagai "ordinary dead", sedangkan dorongan kematian justru motivasi untuk hidup dan menjauhkan diri dari kematian "undead life" (Zizek, 2006: 121). Hal seperti ini dapat terjadi ketika terdapat trauma yang dialami di masa yang lalu sehingga seseorang akan mencoba untuk memperoleh kembali kehidupan yang "normal" dan menolak untuk "mati". Dengan itu, seseorang akan mencari cara untuk terus melanjutkan hidupnya pasca peristiwa mengerikan yang terjadi dimasa lalu untuk berdamai dengan trauma tersebut. Hal ini dilakukan dengan mencari apa yang disebut Lacan sebagai konsep jouissance atau bahkan melampauinya. Jouissance adalah konsep berupa kenyamanan atau kebahagiaan yang tercipta atau sengaja diciptakan seseorang untuk mengatasi traumanya. (Pour et al, 2023:115)

Perasaan seperti inilah yang terbayang oleh penulis ketika melihat kisah hidup yang dirasakan dan dijalankan oleh para Eksil selama ini. Penolakan mereka kembali pulang ke Indonesia pasca peristiwa G30S menjadi sebuah trauma mendalam bagi mereka. Sisa hidup mereka dijalankan dibalik bayang-bayang peristiwa yang menimpa mereka di masa lalu. Meneruskan hidup dan beradaptasi dengan kondisi yang ada seakan menjadi satu-satunya cara mereka untuk tetap menikmati hidup. Sehingga mengganti kewarganegaraan tidak samata-mata berarti tidak lagi nasionalis. Tetapi bisa dibenarkan sebagai implikasi dari death drive mereka dan sebuah cara untuk memperoleh jouissance itu sendiri.  

Jika premis death drive lebih dapat menjelaskan fenomena ini melalui sudut pandang para eksil, maka tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam kasus ini menurut saya dapat dianalisis dari kacamata teori visi agonistik milik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Kekhawatiran dari premis ini adalah tentang penciptaan "kita" dan "mereka". Gagasan inilah yang menciptakan konsep antagonisme sosial yang menggantikan konsep kontradiksi kelas pada marxisme klasik. (Boucher, 2021:368). Melalui teori ini, logika yang berusaha  diciptakan oleh pemerintah Orde Baru adalah dengan menentukan siapa yang termasuk bagian dari "kita" dan siapa yang bukan (mereka). Dalam hal ini doktrin yang diberikan adalah menjadikan PKI dan simpatisan soekarno sebagai musuh yang harus dihapuskan. Ketika batasan antara "kita" dan "mereka" sudah jelas, maka antagonisme akan muncul dengan sendirinya dan membentuk pola hubungan yang agonistik. 

Fragmentasi politik yang terjadi dari demokrasi yang agonistik ini berimplikasi pada polarisasi kelas berbasis ideologi. Sehingga terbentuklah lawan yang terlegitimasi bersama (mereka) dan pembentukan aliansi sosial (kita). (Laclau dan Mouffe, 1985: 65-71). Dalam prakteknya, pemerintah Soeharto selalu memberikan doktrin tentang kekejaman PKI sebagai pelanggar HAM. PKI dan ajaran yang dibawanya juga dianggap sebagai sesuatu yang keluar dari identitas bangsa serta melenceng dari Pancasila. Penerapan asas Tunggal melalui instrumen hukum sebenarnya tidak semata-mata hanya untuk menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila. Lebih jauh dari itu, adanya asas Tunggal membuat segala ideologi yang berkembang di masyarakat selain dari Pancasila dianggap sebagai penyelewengan terhadap negara. Segala bentuk doktrin yang ditanamkan oleh pemerintah ke masyarakat tentang PKI melegitimasi pemerintah untuk bertindak apapun bahkan secara radikal demi menghapuskan PKI dan ajarannya dari negara ini. 

Menurut penulis tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan pemerintah orde baru terhadap para Eksil ini. Hal-hal seperti inilah yang luput dituliskan dalam buku-buku Pelajaran sejarah bahwa tidak semua orang yang dekat dengan Presiden Soekarno adalah PKI dan bisa jadi wacana kebencian terhadap PKI bukanlah hal yang organik melainkan telah disandiwarakan sedemikian rupa untuk menjatuhkan pihak tertentu. Wacana-wacana ini telah menodai rasionalitas dan kebebasan pikiran masyarakat Indonesia yang terbukti berhasil menyebarkan kebencian dan trauma kolektif terhadap PKI dan Komunisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun